Selasa, 08 Maret 2016

MODEL-MODEL PENGEMBANGAN KURIKULUM



1.     Administratif
Model administratif merupakan model pengembangan kurikulum yang paling lama, model ini sering disebut  “garis dan staf”  atau  “top down”  atau “ line staff”. Munculnya model tersebut berawal dari inisatif dan gagasan pengembangan dari para administrator pendidikan  dan menggunakan  prosedur administrasi. Pengembangan model ini  bersentral pada wewenang dari pemerintahan pusat. Pemerintahan pusat melalui pejabat pendidikan yang berwenang dalam semisal dirjen pendidikan membentuk komisi pengarah pengembangan kurikulum. Anggota komisi  pengarah pengembangan kurikulum ini terdiri dari penjabat di bawah dirjen, para ahli pendidikan, ahli kurikulum, ahli disiplin ilmu, dan para tokoh dari dunia kerja dan perusahaan.
Adapun tugas dari komisi pengarah kurikulum sebagai berikut:
1)    Menyiapkan rumusan falsasfah
2)    Merumuskan konsep-konsep dasar
3)    Merumuskan landasan
4)    Merumuskan kebijaksanaan
5)    Merumuskan strategi utama 
6)    Merencanakan garis-garis besar kebijaksanaan
7)    Memberikan garis-garis besar kebijaksanaan
8)    Membentuk tujuan umum pendidikan.
Setalah komisi tersebut menyelesaikan tugas kemudian membentuk dan mengkaji secara seksama, kemudian membentuk komisi kerja penngembangan kurikulum. Para anggota komisi ini terdiri dari para ahli kurikulum dan pendidikan, ahli disipiln ilmu dari perguruan tinggi, guru-guru bidang studi yang senior.  Tugas dari tim kerja pengembangan bertugas menyusun kurikulum yang sesungguhnya yang lebih operasional, dijabarkan dari konsep-konsep dan kebijaksanaan dasar yangntelah digariskan oleh tim pengarah. Tugas dari tim kerja pengembangan kurikululum ini yaitu:
1.     Merumuskan tujuan-tujuan yang lebih operasional dari tujuan umum
2.     Memilih dan menyusun sekeuens bahan pelajaran
3.     Memilih strategi pengajaran dan evaluasi
4.     Serta menyusun pedoman pelaksanaan kurikulum tersebut bagi guru.
Setelah semua tugas dari tim kerja pengembang kurikulum, hasil kerja dari komisi ini kemudian dikaji oleh tim pengarah serta para ahli yang kompeten atau penjabat yang kompeten. Selanjutnya diadakan pengakajian tahap selajutnya adalah uji coba. Pelaksanaan uji coba rancangan kurikulum tersebut adalah sebuah komisi yang ditunjuk panitia pengarah yang anggotanya sebagaian besar terdiri dari kepala sekolah. Setelah penelitian uji coba, komisi pengarah menelaah atau mengevaluasi sekali lagi rancangan kurikulum tersebut baru kemudian memutuskan pelaksanaanya. Apabila sudah diputuskan untuk memakai pengambangan kurikulum maka komisi pengarah pengembangan akan memerintahkan sekolah-sekolah untuk melaksanakan kurikulum tersebut.
Pengembangan kurikulim model adminitratif tersebut menekankan kegiatannya pada orang-orang terlibat pada yang terlibat sesuai denagan tugas dan fungsinya masing-masing. Berhubung pengembangan kegiatan berasal dari atas ke bawah, pada dasarnya model ini mudah dilaksanakan pada Negara yang menganut sistem sentralisasi dan negara dengan kemampuan tenaga pengajaranya masih rendah. Kelemahan-kelemahan model ini sebagi berikut :
a)      Kurang pekanya terhadap adanya perubahan masyarakat, di samping juga karena kurikulum ini biasanya bersifat seragam secara nasional sehingga kadang-kadang melupakan atau mengambaikan adanya kebutuhan dan kekhususan yang ada pada tiap daerah
b)   Pada prinsipnya pengembangan kurikulum dengan model ini bersifat tidak demokratis, karena prakarsa, inisiatif dan arahan dilakukan melalui garis staf hirarkis dari atas ke bawah, bukan berdasarkan kebutuhan dan aspirasi dari bawah ke atas;
c)   Pengalaman menunjukkan bahwa model ini bukan alat yang efektif dalam perubahan kurikulum secara signifikan, karena perubahan kurikulum tidak mengacu pada perubahan masyarakat, melainkan semata-mata melalui manipulasi organisasi dengan pembentukkan macam-macam kepanitian.
d)     Kelemahan utama dari model administratif adalah diterapkannya konsep dua fase, yakni konsep yang mengubah kurikulum lama menjadi kurikulum baru secara uniform melalui sistem sekolah dalam dua fase sendiri-sendiri, yakni penyiapan dokumen kurikulum baru, dan fase pelaksanaan dokumen kurikulum tersebut.

2.     Model Grass Roots (Dari Bawah)
Jika pada pemgembangan model administratif kegiatan pengembangan kurikulum berasal dari atas, model ini inisatif justru berasal dari bawah, yaitu dari para penganjar yang merupakan para pelaksana kurikulum di sekolah-sekolah. Model pengembangan kurikulum administratif bersifat sentralisasi, sedangakan model grass roots akan berkembang pada sistem pendidikan yang bersifat desentralisasi. Model ini mendasarkan diri pada anggapan bahwa penerapan suatu kurikulum akan lebih efektif jika para pelaksanaanya di sekolah sudah diikutsertakan sejak mula pengembangan kurikulum itu.
Dalam model pengmbangan yang bersifat grass roots seorang guru, sekelompok guru atau keseluruhan guru di suatu sekolah mengadakan upaya pengembangan kurikulum. Pengembangan atau penyempurnaan ini dapat berkenaan dengan suatu komponen kurikulum, satu bidang studi atau beberapa bidang studi  ataupun seluruh bidang studi dan seluruh komponen kurikulum. Pengembangan model grass roots ini juga menuntut adanya kerja antara guru antara sekolah secara baik, di samping juga harus ada juga kerja sama dengan pihak di luar sekolah khususnya orang tua dan mayarakat.
Pada pelaksanaanya, para administrator cukup memberikan bimbingan dan dorangan kepada staf pengajar. Setelah menyelesaikan tahap tertentu, bisanya diadakan lokakarya untuk membahas hasil yang telah dicapai dan sebaliknya merencanakan kegiatan yang akan dilakuakan selanjutnya. Pengikut lokakarya di samping para pengajar dan kepala sekolah juga melibatkan orang tua dan anggota masyarakat lainya, serta para konsultan dan para narasumber yang lain. Apabila kondisinya telah memungkinkan, baik dilihat dari kemampuan guru-guru, fasilitasnya biaya maupun kemampuan bahan-bahan kepustakaan, pengembangan model grass roots akan dilaksanakan lebih baik. Orientasi yang demokratis dari rekayasa Model Grass Roots bertanggung jawab membangkitkan apa yang menjadi dua aksioma kemantapan sebuah kurikulum :
a)   Bahwa sebuah kurikulum hanya dapat diterapkan secara berhasil apabila guru-guru dilibatkan secara intim dengan proses pembuatan (konstruksi) dan pengembangannya
b)  Bukan hanya para professional, tetapi murid, orang tua, anggota masyarakat lain harus dimasukkan dalam proses pengembangan kurikulum.

Hal ini didasarkan pada atas pertimbangan bahwa guru adalah peracana, pelaksana, dan juga penyempurna dari pengajaran di sekolah. Dialah yang paling tahu kebutuhannya di kelas , oleh karena itu dialah yang paling kompeten menyusun kurikulum bagi kelasnya. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip pengemnbangan kurikulum yang dikemukakan oleh Smith, Stenley dan Shores dalam  Nana Syaodih Sukmadinata (1999: 163):
a)   The curriculum will improve only as the professional competence of teacher improves.
b)     The competence of teacher will be improved only as the teacher become involved personally in the problems of curriculum revision
c)     If teacher share in shaping the goals to be attained, in selecting, definding, and sloving the problems tobe encountered , and in judging, and evaluating the rusults, their involvement will be most nearly assured.
d)     As people meet in face-to-face groups, the will be  able to understand one another better and to reach a consensus on basic principles, goals  and plans.

Guru adalah sebagai kunci dalam rekayasa kurikulum yang efektif, digambarkan pada (4) prinsip yang menjadi dasar Model Grass Roots, yaitu :
a)       Kurikulum akan baik apabila kemampuan profesioanl guru baik
b)    Kompetensi guru akan membaik apabila guru terlibat secara pribadi dalam masalah-masalah peibaikan (revisi) kurikulum
c)      Jika guru urun rembug dalam membentuk tujuan-tujuan yang akan dicapai dalam memilih, mendefinisikan, memecahkan masalah yang akan dihadapi, mempertimbangkan dan menilai hasil maka keterlibataimya paling terjamin
d)   Karena orang bertemu dalam kelompok, tatap muka, mereka akan dapat memahami satu sama lain lebih baik dan untuk mencapai suatu konsensus berdasarkan prinsip-prinsip dasar, tujuan-tujuan dan rencana-rencana
Secara singkat diagram kerja pengembangan model grass roots sebagai berikut:
Pengembangan kurikulum yang bersifat grass roots, mungking hanya berlaku untuk bidang studi tertentu atau sekolah tertentu, tetapi munngking pula dapat digunakan untuk bidang studi sejenis  pada sekolah lain, atau keseluruhan bidang studi sekolsh atau daerah lain.  Keuntungan dari model ini adalah proses pengambilan keputusan terletak pada pelaksana, mengikutsertakan pihak bawah khussnya para staff mengajar dan memungking terjadinya kompetensi di dalam meningkatkan mutu dan sistem pendidikan, yang pada giliranya akan melahirkan manusia-manusia yang lebih mandiri dan kreatif.

3.     Beuchamp
Sesuai dengan namanya, model ini diformulasikan oleh G.A. Beauchamp (1964) , yaitu mengemukan ada lima langkah penting dalam pengembilan keputusan pengembangan kurikulum.  Menurut Beauchamp untuk nierancang sebuah kurikulum harus ditempuh lima (5) langkah. Langkah Pertama, Pejabat pemerintah yang berwenang dalam pengembangan kurikulum harus menentukan lebih dahulu lokasi atau wilayah yang akan dijadikan pilot proyek untuk pengembangan kurikulum. Pemilahan lokasi atau wilayah yang ditentukan sesuai dengan skala pengembangan kurikulum yang telah direncanakan. Bila kurikulum yang ingin dikembangkan berskala makro atau nasional, maka wilayah atau lokasi yang akan dijadikan pilot proyek adalah propinsi, seandainya bersifat daerah atau berskala mikro maka kabupaten dapat dijadikan lokasi pilot proyek.
Langkah Kedua, Setelah wilayah atau lokasi yang akan menjadi pilot proyek sudah ditetapkan, maka langkah berikutnya adalah menentukan personalia yang akan ikut terlibat di dalam pengembangan kurikulum. Beauchamp melibatkan orang-orang dari staf ahli kurikulum, pakar kurikulum dari perguruan tinggi dan guru-guru sekolah yang telah dipilih, pakar pendidikan, masyarakat yang dihimpun dari berbagai kalangan yaitu dari pengarang atau penulis, penerbit, politikus, pejabat pemerintah, pengusaha dan industriawan.
Langkah Ketiga, Bila personalia sudah disusun dengan baik maka langkah berikutnya adalah pengorganisasian person-person tersebut dalam lima (5) tim yang terdiri dari :
a)     Tim pengembang kurikulum
b)    Tim peneliti kurikulum yang sedang dipakai atau sedang dipergunakan
c)     Tim untuk mempelajari kemungkinan penyusunan kurikulum Beuchamp
d)    Tim perumus untuk kriteria-kriteria kurikulum yang akan disusun.
e)     Tim penyusun dan penulis kurikulum baru

Sedangkan prosedur kerja yang akan dilalui adalah sebagai berikut :
a)    Terumuskan tujuan baik tujuan umum maupun tujuan khusus
b)    Memilih atau menseleksi materi
c)    Menentukan pengalaman belajar
d)    Menentukan kegiatan dan evaluasi
e)    Menentukan desain

Langkah Keempat, Pada langkah ini ditentukan implementasi kurikulum. Pelaksanaan kurikulum mempakan pekerjaan yng cukup rumit karena membutuhkan kesiapan dalam banyak hal, seperti guru sebagai pelaksana kurikulum dikelas, fasilitas, siswa, dana, manajerial pimpinan sekolah atau administrator sekolah.
Langkah Kelima, Setelah semua kebutuhan untuk kepentingan pelaksanaan atau implementasi terpenuhi dan sudah dapat dilaksanakan, maka langkah berikutnya yang merupakan langkah terakhir dari pengembangan kurikulum model beauchamp adalah mengevaluasi kurikulum.

Beauchamp mengemukakan hal-hal yang harus dievaluasi, yaitu :
a.     Evaluasi terhadap pelaksanaan kurikulum oleh guru
b.     Evaluasi terhadap desain kurikulum
c.     Evaluasi terhadap hasil belajar siswa
d.     Evaluasi terhadap sistem dalam kurikulum

Pengembangan kurikulum model Beauchamps memandang pengembangan kurikulum tersebut dalam prosesnya secara menyeluruh. Keuntangan model ini adalah adanya penegasan areana yang kiranya akan mempermudah dan memperjelas ruang lingkup kegiatan. Kelemahan seperti halnya model administratif, adlah kurang pekanya terhadap perubahan masyarakat dan kurang memperhatikan keadaaan daerah yang antara satu dengan lainnya menuntutnya ada kekhususan-kekhususan tertentu.

4.     Ralph Tyler
Dalam bukunya yang berjudul Basic Principles Curriculum and Instruction (1949), Tyler mengatakan bahwa curriculum development needed to be treted logically and systematically. Ia berupaya menjelasskan tentang pentingnya pendapat secara rasional, menganalisis, menginterpretasi kurikulum dan program pengajarannya dari suatu pengajaran dari suatu lembaga pendidikan. Pengembangan kurikulum model Tyler ini mungkin yang terbaik, dengan penekanan khusus pada fase perencanaan. Walaupun Tyler mengajukan model pengembangan kurikulum secara komprehensif tetapi bagian pertama dari modelnya (seleksi tujuan) menerima sambutan yang hangat dari para educator.
Langkah-langkah pengembangan kurikulum:
a.  Langkah l: Tyler merekomendasikan, bahwa perencana kurikulum agar mengidentifikasikan tujuan umum (tentative general objectives) dengan mengumpulkan data dari tiga sumber, yaitu : kebutuhan peserta didik, masyarakat (fimgsi yang diperlukan) dan subject matter.
b.   Langkah 2: Setelah mengidentifikasi beberapa buah tujuan umum, perencana merifinenya dengan cara menyaring melalui dua saringan, yaitu filosofi pendidikan dan psikologi belajar. Hasilnya akan menjadi Tujuan pembelajaran khusus dan meyebutkannya juga pendidikan sekolah dan filosofi masyarakat sebagai saringan pertama untuk tujuan iniSelanjutnya perlu disusun garis-garis besar nilai-nilai yang didapat dan mengilustrasikannya dengan memberi tekanan pada empat tujuan demokratis. Untuk melaksanakan penyaringan, para pendidik harus menjelaskan prinsip-prinsip belajar yang baik, dan psikologi belajar memberikan ide mengenai jangka waktu yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan waktu untuk melaksanakan kegiatan secara efesien. Tyler pun menyarankan agar pendidik memberi perhatian kepada cara belajar yang dapat :
1)    Mengembangkan kemampuan berpikir
2)    Menolong dalam memperoleh informasi
3)    Mengembangkan sikap masyarakat
4)    Mengembangkan minat
5)    Mengembangkan sikap kemasyarakatan
c.    Langkah 3: Menyeleksi pengalaman belajar yang menunjang pencapaian tujuan. Penentuan pengalaman belajar harus mempertimbangkan persepsi dan pengalaman yang telah dimililiki oleh peserta didik.
d. Langkah 4: Mengorganisasikan pengalaman kedalam unit-unit dan menggambarkan berbagai prosedur evaluasi
e.    Langkah 5: Mengarahkan dan mengurutkan pengalaman-pengalaman belajar dan mengkaitkannya dengan evaluasi terhadap keefektifan perencanaan dan pelaksanaan.
f.     Langkah 6: Evaluasi pengalaman belajar. Evaluasi merupakan komponen penting dalam pengembangan kurikulum
Sehubungan dengan hal tersebut Tyler (1949) memperingatkan agar dibedakan antara konten (isi) pelajaran atau kegiatan-kegiatan belajar dengan pengalaman-pengalaman belajar, karena pengalaman belajar merupakan pengalaman yang diperoleh dan dialami anak-anak didik sebagai hasil belajar dan interaksi mereka dengan konten (isi) dan kegiatan belajar. Untuk mengembangkan pengalaman belajar yang mereka peroleh harus bermuara pada pemberian pengalaman para pelajar yang dirancang dengan baik dan dilaksanakan dengan benar. Dari beberapa konsepsi kurikulum diatas kelihatan bahwa kurikulum dapat dilihat dari segi yang sempit atau dari segi yang luas (sebagai pengalaman yang diperoleh di sekolah atau diluar sekolah).

5.     Inverted Model Taba
Pada beberapa buku karya Hilda Taba yang paling terkenal dan besar pengaruhnya adalah Curriculum Development: Theory and Pratice (1962). Dalam buku ini, Hilda Taba mengungkapkan pendekatanya untuk proses pengembangan kurikulum. Dalam pekerjaanya itu, Taba mengindetifasikan model dasar Tayler agar lebih representatif terhadap pengembangan kurikulum di berbagai sekolah. Model pengembangan kurikulum ini oleh Hilda Tiba ini berbeda dengan lazimnya yang banyak diitempuh secara yang bersifat dekduktif karena caranya induktif. Oleh Karena itu sring disebut “Model Terbalik” atau “Inverted Model” .
Pengembangan kurikulum model ini diawali dengan melakukan percobaan, penyusunan teori, dan kemudian baru ditetapkan. Hal itu diharapkan dimaksudkan untuk lebih mempertemukan antara teori dan pratik,  serta menghilangkan sifat keumuman dan keabstrakan yang terjadi dalam kurikulum yang dilakukan tanpa kegiatan percobaan. Dalam pendekatanya, Taba menganjurkanuntuk lebih mempunyai informasi tentang masukan (input) pada proses setiap langkah proses kurikulum, secara khusus, Taba mengajurkan untuk menggunakan pertimbangan ganda terhadap isi (organisasi kurikulum yang logis) dan individu pelajar (psikologis kurikulum). Untuk memperkuat pendapatanya, Taba mengkalim bahwa semua kurikulum disusun dari elemen-elemen dasar. Suatu kurikulum bisanya berisi seleksi dan organisasi isi; itu merupakan manisfetasi atau implikasi dari bentuk-bentuk (patterns) belajar dan mengajar. Kemudian, suatu program evaluasi dari hasil pun akan dialakukan.
Perekayasaan kurikulum secara tradisional dilakukan oleh suatu panitia yang dipilih. Panitia ini bertugas :
a) Mempelajari daerah-daerah fundasional dan mengembangkan rumusan kesepakatan fundasional
b)     Merumuskan desain kurikulum secara menyeluruh berdasarkan kesepakatan yang telah dirumuskan
c)      Mengkonstruksi unit-unit kurikulum sesuai dengan kerangka desain
d)      Melaksanakan kurikulum pada tingkat atas.

Taba percaya bahwa esensial proses deduktif ini cendemng untuk mengurangi kemungkinan-kemungkinan inovasi kreatif, sebab membatasi kemungkinan mengeksperimentasikan konsep-konsep baru kurikulum.Taba menyatakan bahwa :
a)   Bila perubahan nilai dari mendesain ulang kerangka yang menyeluruh maka sebelumnya harus ditetapkan lebih dahulu suatu pola yang akan dipelajari dan diuji.
b)  Panitia penyusunan kurikulum yang tradisional itu dapat menduduld rencana-rencana kurikulum yang bermanfaat, bagian dari desain itu sendiri hanya atas dasar logika bukan empiric
c)  Karena mereka tidak melakukan pengujian secara empirik, kurikulum yang dihasilkan cenderung merupakan skema / sket bagan yang sangat umum dan abstrak dan sedikit membantu untuk melaksanakan praktek instruksional
Ketiga masalah tersebut menunjukkan efesiensi perekayasaan kurikulum yang tradisional dan kesenjangan antara teori dan praktek. Suatu contoh adanya disfungsi dalam teori praktek terdapat pada core kurikulum yang dirancang untuk mengajukan
(1)   Integrasi isi / materi,
(2)   Hubungan dengan kebutuhan siswa
Jalannya praktek core tersebut umumnya hanya merupakan reorganisasi administratif, block of time mata ajaran-mata ajaran yang terpisah-pisali, dan dimana masalah-masalah kehidupan terisolasi dari materi (content) yang valid. Bentuk core yang dilaksanakan berdasarkan rekayasa deduktif menghasilkan pemisahan teori dan praktek
Taba mengajukan pandangan yang berlawanan dengan urutan tradisional dengan mengembangkan inverted model, yakni : langkah awal dimulai dari perencanaan unit-unit mengajar-belajar yang spesifik oleh para guru, bukan diawali aengan desain kerangka (framework) yang umum. Urut-unit tersebut diuji / dilaksanakan dalam kelas, yang ada pada gilirannya digunakan sebagai dasar empirik untuk menentukan desain yang menyeluruh (overall design). Keuntungan digunakannya inverted sequence ini ialah :
a) Membantu untuk menjembatani kesenjangan antara teori dan praktek karena produksi unit-unit tadi mengkombinasikan kemampuan teoritik dan pengalaman praktis.
b)  Kurikulum yang terdiri dari unit-unit mengajar-belajar yang disiapkan oleh guru-guru lebih mudah diintroduser ke sekolah, berarti lebih mudah dimengerti dibandingkan dengan kurikulum yang umum dan abstrak yang dihasilkan oleh umtan tradisional
c)  Kurikulum yang terdiri dari kerangka umum dan unit-unit belajar-mengajar lebih berpengaruh terhadap praktek kelas dibandingkan dengan kurikulum yang ada
Langkah-langkah pengembangan kurikulum Hilda Taba (1962) mengemukakan perekayasaan kurikulum terdiri atas 5 langkah berurutan, ialah :
a) Langkah Pertama, Experimental Production of Pilot Units. Kelompok tenaga pengajar membuat unit eksperiment sebagai ajang untuk melakukan studi tentang hubungan teori dan praktek. Untuk itu diperlukan
(1)  Perencanaan yang didasarkan atas teori yang kuat
(2)  Eksperimen didalam kelas yang dapat menghasilkan data empiris untuk menguji landasan teori yang digunakan.
Hasil dari langkah ini berupa teaching-leaming unit yang masih bersifat draft yang siap diuji pada langkah berikutnya. Unit eksperimen ini dirancang melalui delapan kegiatan sebagai berikut:
1)  Diagnosing needs; Tenaga pengajar mengidentifikasi masalah-masalah, kondisi, kesulitan serta kebutuhan-kebutnhan siswa dalam suatu proses pengajaran. Lingkup diagnosis tergantung pada latar belakang program yang akan direvisi, termasuk didalamnya tujuan konteks dimana program tersebut difungsikan
2)  Formulating Specific Objectives; Formulasi tujuan-tujuan khusus, sebagai penjabaran dari tujuan umum yang dimmuskan berdasarkan kebutuhan-kebutuhan yang telah diidentifikasi yang menjadi titik berat pada teaching leaming unit. Namun demikian tidak semua tujuan khusus tersebut dapat tercapai oleh masing-masing imit.
3)  Selecting Content; Pemilihan isi (materi) berdasarkan kesepadanan dengan tujuan khusus, dan harus mempertimbangkan tingkat validitas dan signifikannya. Karena itu periu dilakukan seleksi terhadap tingkatan isi (materi) yang meliputi pemilihan topik utama, pemilihan ide-ide dasar dan pemilihan materi khusus.
4) Organizing Content; Pengorganisasian materi dilakukan berdasarkan tingkat kemampuan awal serta minat siswa. Pengorganisasian isi disusun dari konkrit keabstrak dan dari mudah ke sulit.
5)  Selecting Learning Experiences (Avtivities); Pengalaman belajar disusun dengan maksud terjadi interaksi antara siswa dan materi pelajaran. Karena setiap materi memiliki beberapa fungsi tertentu.
6)  Organizing Leaming Experiences Avtivities; Pengalaman belajar siswa disusun dan diorganisasikan dengan sekuensi dan organisasi materi (content). Kegiatan belajar siswa diarahkan dari induktif kegeneralisasi dan abstraksi serta difokuskan pada pengembangan ide-ide utama, langkah-langkah perolehan konsep dan prilaku yang baik.
7)   Evaluating; Evaluasi dilakukan untuk mengetahui tingkat pencapaian tujuan unit oleh siswa. Hasil evaluasi berguna untuk menentukan tujuan, diagnosis kesulitan belajar, serta penilaian dalam rangka pengembangan dan revisi kurikulum.
8) Checking for Balance and Sequence; Setelah garis besar teaching leaming dirancang lengkap, selanjutnya perlu dicek konsistensi antara semua bagian yang berkenaan dengan keseimbangan dan urutan topik-topik yang telah tersusun atau unsur-unsur dalam unit tersebut
b) Langkah Kedua, Testing of Experimental Units. Teaching-leaming units yang dihasilkan pada langkah pertama perlu diujicobakan di kelas-kelas eksperimen pada berbagai situasi dan kondisi belajar. Pengujian dilakukan untuk mengetahui tingkat validitas dan keyakinan terap bagi tenaga pengajar yang berbeda-beda gaya mengajar dan kemampuan melaksanakan pengajaran unit. Hasil uji coba menjadi masukan bagi penyempumaan draft kurikulum.
c)  Langkah Ketiga, Revising dan Consolidating. Revisi dan penyempumaan draft teaching leammg units dilakukan berdasarkan data dan informasi yang terkumpul selama langkah pengujian. Pada langkah ini dilakukan pula penarikan kesimpulan (konsolidasi) tentang konsistensi teori yang digunakan. Langkah ini dilakukan bersama oleh koordinator kurikulum dan ahli kurikulum. Produk langkah ini berupa teaching leaming units yang telah teruji di lapangan. Bila hasilnya sudah memadai, maka unit-unit tersebut dapat disebarkan dalam lingkup yang lebih luas.
d)  Langkah Keempat Developing a Framework. Pengembangan keseluruhan kerangka kurikulum dilakukan guna menjamin :
1)   Apakah ide-ide dan konsep-konsep dasar yang digunakan telah terakomodasi? Apakah lingkup isi telah memadai?
2)   Apakah isi telah tersusun berurutan secara logis?
3)   Apakah aktivitas pembelajarannya memberikan peluang untuk pengembangan keterampilan mtelektual dan pemahaman emosi secara kumulatif.
Pengembangan ini dilakukan oleh ahli kurikulum dan para professional kurikulum lainnya. Produk dari langkah-langkah ini adalah dokumen kurikulum yang siap untuk diimplementasikan dan diidentifikasikan.
e)     Langkah Kelima, Instalation and Desimination of The New Unit. Instalasi dan desiminasi adalah peresmian dan penyebarluasan kurikulum hasil pengembangan, sebagai sub sistem pada sistem sekolah secara menyeluruh. Tanggung jawab tahap ini dibebankan pada administrator sekolah. Penerapan kurikulum merupakan tahap yang ditempuh dalam kegiatan pengembangan kurikulum. Pada tahap ini harus diperhatikan berbagai masalah : seperti kesiapan tenaga pengajar untuk melaksanakan kurikulum di kelasnya, penyediaan fasilitas pendukung yang memadai, alat atau bahan yang diperlukan dan biaya yang tersedia, semuanya perlu mendapat perhatian dalam penerapan kurikulum agar tercapai hasil optimal.

6.     The Demotrasion Model
Model demontrasi pada dasarnya bersifat graas roots datangya dari bawah. Model ini diprakasai oleh sekelompok guru atau sekelompok guru berkerja sama dengan ahli yang bermaksud mengadakan perbaikana kurikulum. Model ini hanya berskala kecil model ini hanya mencakup satu atau beberapa sekolah, suatu komponen atau mencakup keselurahan komponen kurikulum. Karena sifatnya ingin mengubah atau mengganti kuirkulum yang ada, mendapat tentangan dari banyak pihak.
Menurut Smith, Stanley dan Shores, model demonstrasi dilaksanakan dalam dua bentuk, yakni :
a)    Bentuk pertama, Guru-guru yang diorganisasi dalam kelompok melaksanakan suatu proyek pengembangan eksperimental kurikulum. Unit ini melakukan pengembangan dan riset intemal sekolah, yang bermaksud menghasilkan segmen baru dari kurikulum, lalu dipertunjukan kepada sekolah dengan harapan dapat diserap oleh sekolah secara keseluruhan. Jadi model ini dimulai dan diorganisasi oleh hirarki administratif serta menyajikan suatu variasi model administrative perekayasaan kurikulum.
b)  Bentuk kedua, model demonstrasi disusun kurang formal dibandingkan dengan model pertama. Beberapa orang guru yang tidak puas terhadap kurikulum yang ada kemudian melakukan eksperimen dalam area tertentu dalam kurikulum dengan maksud menemukan altematif pelaksanaan kurikulum. Berdasarkan eksperimen im diciptakan unit-unit kurikulum yang dinilai berhasil oleh suatu regu penelitian dan pengembangan informal dan kemudian diajukan untuk diserap oleh sekolah. Jadi bentuk model demonstrasi ini mewakili pendekatan the Grass Roots untuk merekayasa kurikulum.
Kesimpulan model ini antara lain:
a.  Kurikulum yang dihasilkan melalui proses ini telah diuji dalam situasi-situasi eksperimental, dan oleh karenanya menyediakan altematif kurikulum yang dapat dilaksanakan dalam praktek dan sistem sekolah
b.   Perubahan dalam bentuk yang spesifik yakni segmen-segmen kurikulum yang dapat dilaksanakan.memudahkan untuk menghadapi hambatan yang sering terjadi bila hendak melakukan revisi secara menyeluruh (sistem yang luas)
c.  Hakekat model demonstrasi berskala kecil memudahkan pendekataan Front terhadap inovasi kurikulum untuk menghindarkan kesenjangan antara dokumen dan pelaksanaannya yang ada pada model administrative
d.   Model demonstrasi khususnya dalam bentuk Grass Roots menggerakkau inisiatif dan sumber guru-guru dan memberdayakan sumber-sumber administratif untuk memenuhi kebutuhan dan minat guru-guru dalam upaya mengembangkan program-program baru.

Kerugian utama model demonstrasi ialah karena model ini menciptakan pertentangan-pertentangan dikalangan guru. Guru-guru yang tidak ikut serta dalam proses pengembangan kurikulum cenderung menganggap guru-guru yang melakukan eksperimen dengan keraguan dan tidak yakin. Mereka menganggap kalaulah hasil eksperimen itu baik namun kelompok tersebut tidak terbimbing bahkan dianggap elit yang oportunistik. Perasaan dan sikap demikian pada gilirannya menghambat penyerapan terhadap inovasi kurikulum. Karena itu suatu komponen yang penting pada model demonstrasi adalah perlu diadakannya komunikasi terbuka antara guru-guru yang melakukan eksperimen dengan pihak berwenang (misalnya perguruan tinggi yang terkait), yang bertujuan untuk mencegah rasa keraguan / rasa tidak diikutsertakan, sebaiknya kelompok eksperimen melakukan serangkaian demonstrasi hasil-hasil pekerjaan mereka untuk memuaskan berbagai pihak, misalnya perguruan tinggi dan para siswa sehingga inovasi kurikulum yang telah mereka lakukan bukan hanya eksperimental belaka melainkan dapat diserap dan dilaksanakan dalam lingkungan sistem sekolah.

7.     Roger Interpersonal Relations Model
Meskipun Rogers bukan seorang ahli pendidikan tetapi ahli psikologi tetapi konsep-konsepnya, tetaapi konsep-konsepnya tentang psikoterapi khusunya dalam membimbing individu juga dapat diterapkan dalam bidang pendidikan dan bidang pendidikan. Dia sangat terkenal dengan pendekatan "nondirectve" dan "humanistic" dalam pengajaran dan perencanaan kurikulum. Memang ia banyak mengukapkan konsepnya tentang perkembangan dan perubahan individu. 
Muriel Crosby dalam bukunya yang berjudul "Who changes the Curriculum and?" dan diterbitkan oleh Allyn & Bacon Publishers pada tahun 1970 mengungkapkan : "perubahan kurikulum adalah perubahan manusia" (Curriculum change is people change) sangat berkait erat dengan konsep yang dikemukakan Carl Rogers melalui model pengembangan kurikulum yang berpusat pada perubahan manusia (people change).
Menurut Rogers manusia berada dalam proses perubahan (becoming, developing, chaging), sesungguhnya ia memepunyai kekuatan dan potensi untuk berkembang sendir, tetapi karena ada hambatan-hambatan tertentu  ia membutuhkan orang untuk membantu mempelanacar atau memepercepat perubahan tersebut. Pendidikan juga tidak lain merupakan upaya untuk membantu mempelancar atau mempercepat perubahan tersebut. Guru serta pendidik lainya bukan memberikan informassi apalagi penentu perkembangan anaknya, mereka hanyalah pendorong dan pemenlancar perkembangan anak.
Rogers memperluas tentang terapi sebagai suatu model belajar untuk pendidikan : ia percaya bahwa hubungan antar insani yang positif memungkinkan orang tumbuh dan oleh karenanya pengajaran harus berdasarkan konsep human relation bukan pada mata pelajaran. Guru berperan sebagai fasilitator yang memiliki personal relationship dengan siswa dan membimbing pertumbuhan dan perkembangan mereka.
Salah satu cara untuk proses itu adalah melalui proses pendidikan, sebab pendidikan merupakan upaya untuk memperlancar dan mempercepat perubahan pada diri manusia, Guru serta unsur-unsur pendidik lainnya bukan sebagai pemberi informasi atau penentu perkembangan anak, tetapi mereka hanya pendorong dan yang memperlancar perkembangan individu yang belajar.
Dengan model pengembangan kurikulum interpersonal relation ini, Carl Rogers berpendapat, bahwa kurikulum diperlakukan dalam rangka mengembangkan individu yang terbuka, luwes dan adaptif terhadap situasi perubahan.
Kurikulum tersebut hanya dapat disusun dan diterapkan oleh unsur-unsur pendidikan serta yang lainnya yang terbuka, luwes dan berorientasi pada proses. Untuk itu diperiukan pengalaman kelompok dalam latihan sensitif (sensitivity traming).
Ada empat tahap dalam pengembangan kurikulum model "Rogers Interpersonal Relation", yaitu:
a.   Pemilihan suatu target sistem pendidikan; Penentuan target ini berdasarkan kriteria yang menjadi pegangan yakni adanya kesediaan dari administrator / pejabat pendidikan untuk turut serta dalam kegiatan kelompok intensif. Selama satu minggu para administrator / pejabat pendidikan melakukan kegiatan kelompok dalam suasana yang rileks / tidak formal, untuk itu diperlukan suatu tempat khusus yang agak terpisahjauh dari kehidupan kerja.Melalui kegiatan kelompok itu, mereka akan mengalami perubahan-perubahan sebagai berikut:
1)   Tidak terlalu mempertahankan pendiriannya, sehingga dapat menerima saran orang lain.
2)    Lebih mudah untuk menerima ide-ide pembaharuan.
3)    Mampu mengurangi kekuasaan birokratis.
4)   Komunikasinya lebih jelas serta realistis terhadap atasan, teman sebaya dan bawahan
5)    Lebih berorientasi pada sifat kemanusiaan dan demokratis
6)  Lebih terbuka untuk menyelesaikan perselisihan antar sesama anggota kelompok.
7)    Lebih mampu untuk menerima saran dan kritik demi perbaikan.
b.  Pengalaman kelompok yang intensif bagi guru; Pertemuan selama seminggu atau pertemuan yang diadakan dalam minggu akhir yang panjang perlu diadakan untuk saling mengenal antar sesama peserta. Dalam pertemuan tersebut diharapkan terjadi pertukaran informasi. Demikian pula guru yang skeptis dan menentang mungkin akan melihat pembaharuan dari sisi lain, sehingga kemungkinan besar terjadi perubahan sikap menerima. Keikutsertaan guru dalam kelompok sebaiknya bersifat sukarela. Efek yang akan diterima guru-guru sama dengan para administrator pendidikan, dengan beberapa tambahan sebagai berikut:
1)   Lebih mampu untuk mendengarkan keluhan siswa.
2)  Mau menerima pembaharuan melalu peritiwa "siswa menggangu" kelas oleh siswa tertentu dari pada siswa yang pendiam.
3)  Sangat perhatian terhadap hubungannya dengan para siswa, begitu juga yang dilakukannya terhadap isi mata pelajaran.
4)  Masalah yang timbul dipecahkan bersama dengan para siswa dan tidak melalui tindakan hukuman.
5) Mampu mengembangkan suasana kesamaan hak dan kewajiban sehingga timbul suasana demokratis di dalam kelas.
6)  Pengembangan pengalaman kelompok vanp intensif bagi kelas
c.  Mengikutsertakan satu unit kelas dalam pertemuan lima hari. Selama lima hari penuh siswa ikut serta dalam kelompok secara aktif, den^an fasilitator para guru, administrator pendidikan, dan administrator dari luar. Dengan kegiatan itu diharapkan menumbuhkan suasana hubungan yang baik antara siswa yang satu dengan yang lain. Perubahan yang terjadi pada diri siswa:
1)  Merasa bebas mengemukakan pendapatnya didalam kelas
2) Semangat untuk belajar bertambah, karenanya timbul persaingan yang sehat untuk pandai.
3)  Memiliki tenggang rasa dalam hubungan antar siswa di dalam pergaulan sehari- hari.
4) Tidak mempunyai rasa tertekan karena tidak mengenal istilah hukuman yang bersifat fisik.
5)  Dia hormat dan patuh pada guru maupun admistrator karena adanya wibawa.
6) Mempunyai anggapan bahwa dengan belajar akan mampu menghadapi kehidupan masa depan.
d.  Keterlibatan orang tua dalam pengalaman kelompok yang intensif; Kegiatan ini dapat dikordinasi oleh persatuan orang tua pada masing-masing sekolah. Kegiatan kelompok berlangsung selama tiga jam tiap sore selama satu minggu atau dua puluh satu jam selama tiga hari terus menerus. Jika kemungkinan, pertemuan demikian agar berbarengan dengan pertemuan unit kelas. Tujuan utama kegiatan ini adalah supaya orangtua, staf pengajar dan pimpinan sekolah atau administrator pendidikan lainnya dapat saling mengenal secara pribadi sehingga memudahkan pemecahan-pemecahan persoalan-persoalan yang dihadapi dunia pendidikan, khususnya persekolahan. Carl Rogers juga menyarankan, kalau mungkin ada pengalaman kegiatan kelompok yang bersifat campuran kulminasi dari model interpersonal adalah diselenggarakannya kelompok-kelompok vertical ("vertical groups") yang diikuti oleh partisipan. Perubahan kurikulum yang berhasil dapat dicapai bila ada hubungan efektifsecara horizontal dan across status-role lines.
Saran Carl Rogers tersebut adalah perlunya diadakan pertemnan vertical yang mendobrak hierarki birokrasi dan status sosial. Peserta kegiatan tersebut terdiri dari dua orang administrator, dua orang pimpinan sekolah, dua orang stafpengajar dan dua orang siswa.
Model pengembangan kurikulum ini mengutamakan hubungan antar pribadi yaitu penciptaan suasana akrab antar unsur-unsur pendidikan yang terlibat didalam pengembangan kurikulum, yaitu : adnunistrator, pimpinan sekolah, guru-guru serta para siswa, kebaikkannya antara lain :
a) Sedikit kemungkinan terjadinya tekanan hierarld yang bersifat menghambat, sehingga diharapkan dapat menerapkan kurikulum yang lebih besar.
b) Masing-masing unsur pendidikan khususnya yang terlibat langsung dalam pelaksanaan kurikulum, yaitu para guru tidak ragu mengemukakan pendapat dan gagasannya dalam pengembangan kurikulum
c)  Tidak timbul adanya dominasi kuat dari pihak "pusat/atas" untuk memaksakan kehendak politik di bidang pendidikan khususnya pengembangan kurikulum.



Ada tampaknya hal yang dapat dianggap sebagai tanda-tanda kelemahan / kekurangan pada model "Rogers Interpersonal Relation " dalam pengembangan kurikulum antara lain:
a)  Tampaknya tidak ada batas hubungan antara siswa dengan guru atau unsur pendidik lainnya, sehingga dikhawatirkan luntumya rasa hormat pada diri siswa.
b)  Memerlukan waktu yang lama dan sulit ditargetkan untuk penyelesaian secara tuntas dalam penyusunan kurikulum baru sebagai hasil dari pengembangan kurikulum.
c)     Memerlukan biaya yang tidak sedikit, mengingat banyaknya unsur yang terlibat sertajenis kegiatan yang dilakukan.
d)    Keterlibatan berbagai unsur pendidikan dalam proses pengembangan kurikulum tersebut, kemungkinan besar mengakibatkan kesulitan dalam pengorganisasiannya

8.     D. K. Wheeler
Dalam bukunya yang cukup berpengaruh, Curriculum Process, Wheeler (1967) mempunyai argumen tersendiri pengembangan kurikulum (curriculum developers) dapat menggunakan suatu proses melingkar (a cycle process), yang namanya setiap elemen saling berhubungan dan bergantungan. 
Pendakatan yang digunakan Wheeler dalam pengembangan kurikulum pada dasarnya memiliki bentuk rasional. Setiap langkah kurikulum pada dasarnya memiliki bentuk rasional. Setiap langkah (phase)nya merupakan pengembangan secara logis terhadap model sebelumnya, di mana secara umum langkah tidak dapat dilakukan sebelum langkah-langkah sebelumnya telah diselesaikan. Sebagai mantan akademisi Univerrsity of Western Australia, Wheeler mengembangkan ide-idenya sebagimana yang telah dilakukan pleh Tayler dan Taba. Wheeler menawarkan lima langkah itu jika dikembangkan dengan logis temporer, akan menghasilkan suatu kurikulum yang efektif. Dari lima langkahnya ini, sangat tampak bahwa Wheeler mengembangkan lebih lanjut apa yang telah dilakukan Tyler dan Taba meski hanya dipresentasikan agak berbeda.
Langkah-langkah atau phases Wheeler (Wheeler’s phases) adalah:
Selection of aims, goals, and objectives (seleksi maksud, tujuan, dan sasarannya)
Selection of learning exprerinces to help achieve these aims, goals and objectives (seleksi pengalaman belajar untuk membantu mencapai maksud, tujuan, dan sasaran.)
1)       Selection of content through which certain types of experiences may be offered (Seleksi isi melalui tipe-tipe tertentu dari pengalaman yang mungking ditawarkan)
2)       Organization and intergration of learning exprinces and content with respect to the teaching learning process (organisasi dan intergrasi pengalaman belajar dan isi yang berkenaan dengan proses belajar dan mengajar)
3)       Evalution of esch phase and the problem of goals (evaluasi setiap fase dan masalah-masalah tujuan)
Kelebihan dari model adalah :
1)    Memasukan berbagi kematangan yang berhubungan dengan objectives
2)    Struktur logis kurikulum yang dikembangkannya
3)    Menerapkan situasiasional analisys sebagai titik permulaan
Kekurangan dari model ini:
1)    Wajahnya yang bersifat logis
2)    Pengimplementasiannya

9.     Audrey dan Howard Nicholls
Dalam bukunya, developing curriculum: A Participial Guide (1978), Audrey dan Howard Nicholls mengembangkan suatu pendekatan yang cukup tegas mencakip elemen-elemen kurikulum dengan jelas dan ringkas. Buku tersebut sangat popular di kalangan pendidik, khususnya di Inggirs, di mana pengembangan kurikulum pada tingkat sekolah sudah lama ada.
Nicholas menitikberatkan pada pendekatan pengembangan kurikulum yang rasional, khususnya kebutuhan untuk kurikulum yag munculnya dari adanya perubahan situasi. Mereka berpendapat bahwa :” …change should be planed and introduced on a rational and valid this according to logical process, and this has not been the case in the vast majority of changes that have already taken place”
Audrey dan Nichllos mendefinisikan kembali metodenya Tyler, Taba, Wheeller dengan menekan pada kurikulum proses yang bersiklus atau bentuk lingkaran, dan ini dilakuakan demi langkah awal, yaitu analisis situasi (situasional analysis). Kedua penulis ini mengukapkan bahwa sebelum elemen-elemen tersebut diambil atau dilakukan dengan lebih jelas, konteks dan situasi di mana keputusan kurikulum itu harus dibuat harus diperrtimbangkan dengan secara mendetail dan serius. Dengan demikian, analisis  situasi menjadi langkah pertama (preliminary stage) yang membuat para pengembang kurikulum memahami faktor-faktor yang akan mereka kembangkan.
Terdapat lima langkah atau tahap (stage) yang diperlukan dalam proses pengembangan secara kontinu (continue curriculum process). Langkah-langkah terbut menurut Nicholls adalah;
a.     Situsional analysis (analisis keadaan)
b.     Selection of objectives  (seleksi tujuan)
c.      Selection ang organization of content (seleksi dan pengorganisasian isi)
d.     Selection and organization of methods (seleksi dan organisasi metode)
e.      Evaluation (evaluasi)

Masuknya fase analisis situasi (situasioanal analysis) merupakan suatu yang disengaja untuk memaksa para pengembang kurikulum lebih reposintif terhadap lingkungan dan secara khusus dengan kebutuhan anak didik, kedua penulis ini menekankan perlunya memakai pendekatan yang lebih komprehensif untuk mendiagnosis semua faktor menyangkut semua situasi dengan diikuti penggunaan pengetahuan dan pengertian yang berasal dari analisis tersebut dalam perencanaan kurikulum.

10.            Decker Walker
Pada awal 1970, Decker Walker berpendapat bahwa objectives atau rational model dalam proses kurikulum ini tidak menerrima pendapat dalam literaratur yang tidak populer. Walker (1971) berpendapat bahwa pengemabangan kurikulum tidak mengikuti pendekatan yang telah ditetntukan dari urutan yang rational dari elemen-elemen kurikulum ketika mereka mengembangkan kurikulum. Lebih baik memprosesnya melalui tiga fase di dalam persiapan natural daripada dalam kurikulum.
Kesimpulan tersebut berasal dari analisis Walker terhadap laporan proyek kurikulum, seperti CHEM Stuidi, BSCS, SMSG serta partisipasi pribadinya dalam proyek kurikulum bidang kesenian. Analisis Walker menguraikan apa yang telah dilihat sebagai model alami dalam proses kurikulum. It is a naturalistic model in the sense that it was constructed to represent phenomena and realtions observed in actual curriculum projects faithfully as possible with a few terns and principles.
Ada empat fase dalam pengembangan model kurikulum ini yakni:
a.     Fase pertama; Walker mempunyai argument bahwa  pernyataan platform di organisasikan oleh para pengembang kurikulum dan pernyataan tersebut berisi serangkian ide, prefensi dan pilihan, pendapat, keyakinan, dan nilai-nilai yang dimiliki kurikulum.  Aspek-aspek tersebut mungkin tidak definisikan atau secara logis, tapi mereka membrntuk basis platform sehingga kurikulum mendatang bisa dibuat oleh pengembang kurikulum (curriculum developers).
b.     Fase kedua; Walker berpendaoat bahwa pengembang kurikulum tidak memula tugas dalam keadaan kosong (a blank state), nilai-nilai, konnsepsi, dan hal-hal pengembangan kurikulum sebagai menngindinkasikan adanya kesukaan den perlakuan sebagai dasar (paltfrom) mengembangkan kurikulum. Walker mengajurkan bahwa: The Platfrom includes an idea of what is ought to be and these guides the curriculum developer in the dertemining what should be do to realize his vision
c.      Fase ketiga; Ketika interaksi di antara individu dimulai, mererka kemudian memasuki fase pertimabangan yang mendalam. Walker berpendapat bahwa selama fase ini, individu mempertahankan pertanyaan platform mereka sendiri dan menekanakan pada idde-ide yang ada. Berbagai peristiwa ini memberikan suatu (developers) juga beusaha menjelaskan ide-ide mereka mencapai suatu konsesus. Dari periode yang agak kacau, fase yang telah dipertimbangkan menghasilkan suatu ilmuniti yang penuh pertimbangan.
d.     Fase keempat; Fase model terakhir Walker adalah menggunakan bentuk design. Pada fase ini, developers membuat keputusan tentang berbagai komponen proses atau elemen-elemen kurikulum. Keputusan akan dicapai setelah ada diskusi mendalam dan dikompromikan oleh individu-individu. Keputusan-keputusan itu kemudian deirekam dan menjadi basis data untuk dokumen kurikulum atau materi yang lebi spesifik.        
  
11.            Malcolm Skilbeck
Malkom Skilback, direktur Pusat Pengembangan Kurikulum Austalia ( Australia’s Curriculum Development Center), mengembangkan suatu interaksi altertnatif atau model dinamis bagi suatu interaksi alternatif atau model dinamis bagi model proses kurikulum. Dalam sebuah artikelnya, Skilbeck (1976) mengajurkan suatu pendekatan dan mengembangkan kurikulum pada tingkat sekolah. Pendapatnya mengenai sekolah di dasarkan pada pengembangan kurikulum (SCBD), sehingga Skilbeck memberikan suatu model yang membuat pendidik dapat mengembangkan kurikulum secara tepat dan realistic. Dalam hal ini, Skilbeck memepertimbangkan model dynamic in nature.
Model dinamis atau interaktif (dyanamic or interactive models) menetapakan pengembangan kurikulum harus mendahulukan sustu elemen kurikulum dan memualianya dengan suatu dari urutan yang telah ditetntukan dan diajurkan oleh model rasional. Skilbeck mendukung petunjuk tersebut, menambahkan sangat penting bagi developers untuk menyadari sumber-sumber tujuan mereka. Untuk mengetahui sumber-sumber tersebut, Skilbeck berpendapat bahwa “a situasional analysis” harus dilakukan. Untuk lebih mudah memahami model yang ditawarkan Skilbeck, gamabr ini mungking bisa membantu:
Model ditas mengkalim bahwa agar School-Based Curriculum Development (SBCD) dapat bekerja secara efektif, lima langkah (steps) diperlukan dalam suatu proses kurikulum. Skilbeck berkata bahwa model dapat diaplikasikan secara bersama dalam pengemban kurikulum, observasi dan peneliaan sistem kurikulum, dan aplikasi nilai dari model tersebut pada nilai dan model tersebut terletak pada pilihan pertama.
Mengingat susunan model ini secara logis termasuk kategori rational by natur, namun Skilbeck mengingatkan bahwa agar tidak terjurumus pada perangkap (trap). Skilbeck mengingatkan bahwa pengembangan kuriulum (curriculum development) perlu mendahulukan rencana mereka dengan memulainya dari salah satu langakah (stage) tersebut secara bersamaan. Pengertian model di atas sangat sangat membingungkan, karena sebenarnya model tersebutmendukung pendekang rasional daripada pengembangan kurikulum. Namun demikian, Skilbeck berkata: The model outlined does not presuppose a means and analysis at all, it simply encourages teams and or groups of curriculum developers to take account different elements and aspects of the curriculum development process, to the see the process as an organic whole and to wrok in a moderately systematic way
Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa alat ini tidak mengisyaratkan suatu alat. Tujuananya adlah menganalisis secara keseluruhan; tetapi secara simbol telah mendorong teams atau groups dari pengembang kurikulum untuk lebih memperhatikan perbedaan-perbedaan elemen dan aspek-aspek proses pengembangan kurikulum, agar lebih bisa melihat proses bekerja dengan cara sistematik dan moderat.      

      
12.            The Systematic Action-Research Model
Model kurikulum ini didasarkan pada asumsi bahwa perkembangan kurikulum merupakan perubahan sosial. Hal itu mencakup suatu proses yang melbatkan kepribadian orang tua, siswa guru, strutur sistem sekolah, pola hubungan pribadi dan kelompok dari sekolah dan maysrakat. Sesuai dengan asumsi model tersebut model ini menekenakan pada tiaga hal itu: hubungan insane, sekolah dan organisasi masyarakat, serta dari pengeratahuan professional.
Kurikulum dikemabanmgkan dalam konteks harapan warga masyarakat, para orang tua, tokoh masyarakat, pengusaha, siswa, guru, dll, mempumyai pandangan tentang bagiamana pendidikan, bagiamana anak belajar, dan bagiamana peranan kurikulum dalam pendidikan dan pengajaran. Penyususnan kurikulum harus memasukan pandanagn dan harapan-harapan masyarakat, dan salah satu cara untuk mencapai hal itu adalah dengan prosedir action research.
Langkah pertama, mengadakan kajian secara seksama tentang masalah kurikulum, berupa pengumpilan data yang bersifat menyeluruh, dan mengidentifikasi faktor-faktor, kekuatan dan kondisi disusun rencana yang menyeluruh tentang cara menagtasi maslah-maslah tersebut, seta tindalan yang harus diambil.
Kedua,implementasi keputusan yang dimabil dlam tindakan pertama. Tindakan ini sgera diikuti oleh kegaiatan pengmpulan data dan fakta-fakta  Kegiatan pengumpulan data ini memeliki beberapa fungsi :
a.     Memnyiapakan data bagi evaluasi tindakan
b.     Sebagai pemahaman masalah yang dihadapi
c.      Sebagai bahan menialai dan mengadakan modifikasi
d.     Sebagai bahan untuk untuk menentukan tindkan lebih lanjut 

13.            Emerging Thenical models
Perkembangan bidang teknologi dan ilmu pengetahuan serat nilai-nilai efesiansi dan efektifitas dalam binis, juga mempengaruhi perkembangan model-model kurikulum. Tumbuh kecendrung-kecendrungan baru yang didasarkan hal itu di antaranya:
The behavorial analysis models, menekakan pengusaaan prilaku atau kemampuan. Suatu kemampuan/prilaku yang kompleks diuraiakan menjadi prilaku-prilaku yang sedehana yang tersususn secara hierakis. Siswa menjadi prilaku-prilakusecara berangsur-angsur mulai yang sederhana menjadi lebih kompleks.
The system analysis model  Berasal dari gerakan efensiasi bisnis. Langakah pertama dari model ini adalah menettukan spesifikasi perangkat hasil belajar yang harus dikusai. Langakah kedua, menyusun instrumen untuk menilai ketercapaian hasil-hasil belajar tersebut. Langkah ketiga mengidentifikaskan tahap-tahap kertercapaian hasil serta perkiraan biaya yang diperlukan. Langakah keemapat membandingakan keuntuangan dari beberapa program pendidikan.
The computer-based models, suatu model pengembangan kurikulum dengan memenfaatkan computer. Pengembanganya di mulai dengan mengidentifikasikan seluruh unit-unit kurikulum, tiap unit unit kurikulum telah memilki rumusan tentang hasil-hasil bealajar yang dicapai siswa disimpan dalam computer.


14.            The Leyton Soto Model
Dengan berkolaborasi dengan Ralph Tyler, Mario Leton Soto merivisi dan memperluas model yang dipersentasikan oleh Tyler. Leyton Soto mengobservasi sifat linear dari model Tyler dan pemisahan dari tiga sumber objektif. Dia memasukan dalam representasi skematinya dalam model Tyler pemahaman bahwa dua dasar filsafat dan psikologi tidak selalu diterapkan dalam urutan pilihan tetapi salah satu bisa mungking bisa mendahului yang lain. Dalam model terintergrasi Leyton Soto memhilangakan beberapa hal yang ada dalam model Tyler dan menambahkan beberapa perbaikan dan klirifikasinya sendiri.
Pada leyton Soto model memetakan tiga eleman dasar:  filosofi, psikologi, dan sumber dan tiga proses seleksi, organisasi dan evaluasi. Secara signnifan Leyton soto jelas menunjukan keterkaitan antara berbagai model komponen.
 Model ini dimulai dengan dua dasar lebih dari tiga sumber. Jelaslah bahwa sumber itu sendiri di pengaruhi oleh filsafat dan dasar psikologi dan sebaliknya. Sefangkan Tyler sendiri menjelaskan 1 pemilihan tujuan dan 2 pemilihan organisasi dan evaluasi pengalaman belajar, Leyton Soto membedakan antara pengelaman belajar dan kegiatan belajar. Dia mendefisikan tujuan sebagi kombinasi dari pengalaman yang pelajar mencoba untuk mencapai pengalaman. Dalam model ini leyton Soto terminology adalah prilaku yang tertulis ke dalam tujuan, sedangkan kegiatan adalah pengelama mereka menyanggupi pelajar untuk mencapai prilaku yang diharapkan dan kegaiatan yuang dipilih dan diatur, tapi hanya mengalami perilaku terminal yang dievaluasi.
Dengan demikian, Leyton Soto telah mempersentasikan sebuah intergrasi dan komperhensif, meskipun model yang relative kompleks untuk pengembangan kurikulum dari sudut memilih tujuan ke titik mengevaluasi pengalaman.

15.            The Saylor and Alexander Model
Model ini membentuk curriculum planning process (proses perencanaan kurikulum).Untuk mengerti model ini, kita harus menganalisa konsep kurikulum dan konsep rencana kurikulum mereka. Kurikulum menurut mereka adalah "a plan for providing sets of learning opportunities for persons to be educated" ; sebuah rencana yang menyediakan kesempatan belajar bagi orang yang akan dididik. Namun, rencana kurikulum tidak dapat dimengerti sebagai sebuah dokumen tetapi lebih sebagai beberapa rencana yang lebih kecil untuk porsi atau bagian kurikulum tertentu.
Model ini menunjukkan bahwa perencana kurikulum mulai dengan menentukan atau menetapkan tujuan sasaran pendidikan yang khusus dan utama yang akan mereka capai. Saylor, Alexander dan Lewis, mengklasifikasi serangkaian tujuan ke dalam empat (4) bidang kegiatan dimana pembelajaran terjadi, yaitu : perkembangan pribadi, kompetensi social, ketrampilan yang berkelanjutan dan spesialisasi. Setelah tujuan dan sasarn serta bidang kegiatan ditetapkan, perencana memulai proses merancang kurikulum. Diputuskan kesempatan belajar yang tepat bagi masing-masing bidang kegiatan dan bagaimana serta kapan kesempatan ini akan disediakan.
Setelah rancangan dibuat (mungkin lebih dari satu rancangan), guru-guru yang menjadi bagian dari rencana kurikulum, harus membuat rencana pengajaran. Mereka memilih metode bagaimana kurikulum dapat dihubungkan dengan pelajar. Guru pada tahap ini harus dikenalkan dengan istilah tujuan pengajaran. Sehingga guru dapat memerinci tujuan pengajaran sebelum memilih strategi atau cara presentasi.
Akhirnya perencana kurikulum dan guru terlibat dalam evaluasi. Mereka harus memilih teknik evaluasi yang akan digunakan. Saylor dan  Alexander mengajukan suatu rancangan yang mengijinkan : (1) evaluasi dari seluruh program pendidikan sekolah, termasuk tujuan, subtujuan, dan sasaran; keefektifan pengajaran akan pencapaian siswa dalam bagian tertentu dari program, juga (2) evaluasi dari program evaluasi itu sendiri. Proses evaluasi memungkinkan perencana kurikulum menetapkan apakah tujuan sekolah dan tujuan pengajaran telah tercapai

16.            Model Olivia
Model perkembangan kurikulurn menurut Oliva terdiri dari tiga kriteria, yaitu : simpel, komprehensif dan sistematis. Walaupun model ini mewakili komponen-­komponen paling penting, namun model ini dapat diperluas menjadi model yang menyediakan detail tambahan dan menunjukkan beberapa proses yang diasumsikan oleh model yang lebih sederhana. Model perkembangan kurikulurn dari Oliva 12 komponen yaitu:
a.     Perumusan filosofis, sasaran, misi, serta visi lembaga pendidikan, yang kesemuanya bersumber dari analisis kebutuhan siswa dan kebutuhan masyarakat;
b.     Kebutuhan masyarakat di mana sekolah itu berada, kebutuhan siswa dari urgensi dari disiplin ilmu yang harus diberikan oleh sekolah;
c.      Tujuan umum yang didasarkan pada komponen 1 dan 2; 
d.     Tujuan khusus yang didasarkan pada komponen 1 dan 2; 
e.      Bagaimana mengorganisasi rancangan dan mengimplementasikan kurikulum
f.       Menjabarkan kurikulum dalam bentuk tujuan umum;
g.     Menjabarkan kurikulum dalam bentuk tujun khusus;
h.     Menetapkan strategi pembelajaran yang dimungkinkan dapat mencapai tujuan;
i.       Teknik penilaian;
j.       Pengembangan kurikulum;
k.     Evaluasi pembelajaran;
l.       Evaluasi kurikulum.

Model tersebut digambarkan dalam bentuk segi empat dan lingkaran.Segi empat menggambarkan tentang proses perencanaan sedangkan lingkaran menggambarkan proses operasional.Proses dimulai dengan komponen I, karena pada fase ini para pengembang kurikulum menentukan tujuan dari pendidikan serta landasan filosophy dan psikologi.Tujuan ini diyakini berasal dari kebutuhan masyarakaty dan kebutuhan hidup individu dimasyarakat.Komponen ini menggabungkan konsep yang sama dengan tyler. Komponen II membutuhkan sebuah analisis kebutuhan masyarakat dimana suatu sekolah berada,kebutuhan siswa dilayani oleh masyarakat.Komponen III dan IV disebut sebagai tujuan khusus kurikulum berdasarkan tujuan, keyakinan. Tugas dari komponen V adalah untuk mengorganisir dan mengimplementasikan kurikulum, membentuk dan membangun struktur dengan kurikulum yang akan diorganisir.
Pada komponen VI dan VII melukiskan perincian lebih lanjut dalam pelaksanaan lewat pengajaran yang mencakup Tujuan Instruksional Umum dan Khusus. Komponen VIII menunjukkuan strategi agar tujuan tercapai dikelas.Sekaligus dalam fase ini pembina kurikulum secara pendahuluan mencari teknik evaluasi(komponen IX) yang dilanjutkan dengan komponen X dimana pembelajaran dilaksanakan. KomponenXI adalah evaluasi sesungguhnya mengenai prestasi siswa, keefektifan pengajaran.
Komponen XII merupakan evaluasi kurikulum atau keseluruhan program.hal terpenting adalah umpan balik dari setiap evaluasi untuk pengembangan lebih lanjut.Jadi inti dari semua komponen adalah komponen I sampai IV dan VI sampai IX adalah tahap perencanaan, sementara X-XII adalah tahap operasional. Komponen V merupakan perpaduan antara perencanaan dan operasional.Model Oliva dapat dipandang terdiri dari dua submodel:komponen I-V dan XII sebagai submodel pengembangan kurikulum.Komponen VI-XI sebagai model pengembangan pengajaran. Secara terperinci model tersebut mengikuti langkah-langkah berikut:
a.      Spesifikasi kebutuhan siswa umumnya
b.     Spesifikasi kebutuhan masyarakat
c.      Pernyataan filsafat dan tujuan pendidikan
d.     Spesifikasi kebutuahn siswa tertentu
e.      Spesifikasi kebutuhan masyarakat lingkungan sekolah
f.       Spesifikasi kebutuhan mata pelajaran
g.      Spesifikasi tujuan kurikulum sekolah
h.     Spesifikasi tujuan kurikulum sekolah lebih lanjut(lebih khusus)
i.        Organisasi dan implementasi kurikulum
j.        Spesifikasi tujuan instruksional umum
k.     Spesifikasi lebih lanjut dan khusus tujuan instruksional
l.        Seleksi strategi instruksional
m.   Seleksi awal strategi evaluasi
n.     Implementasi pengajaran/instruksional
o.     Seleksi akhir strategi evaluasi
p.     Evaluasi pengajaran dan modifikasi komponen-komponennya
q.     Evaluasi kurikulum dan modifikasi komponen-komponen kurikulum

Model dapat digunakan  dalam berbagai cara:
a.     Model mengusulkan sebuah proses untuk pengembangan secara menyeluruh dari kurikulum sekolah.
b.     Sebuah Sekolah/Fakultas boleh memfokuskan pada komponen dari model (komponen 1-5 dan 12) untuk memutuskan program.
c.      Sekolah/Fakultas boleh memusatkan pada komponen pembelajaran(komponen 6-11).
Saran dari 12 langkah perkembangan kurikulum  diatas yaitu: langkah 1 5 dan merupakan submodel dari sebuah kurikulum, langkah 6 11 sub model pembelajaran.17

17.            Kurikulum Terpadu (Integrated Curriculum)
Model pengembangan kurikulum terpadu (integrated curriculum) mengikuti cara yang pada dasarnya mengandung aspek-aspke yang sama dengan pengembangan kurikulum lainya, hanya saja setiap kurikulum kurikulum memiliki variasi menurut hakikkat kurikulum bersangkutan. Kurikulum terpadu pada dasarnya pemecahan pada suatu problem, yakni ‘problem sosial’ (social problem) yang dianggap penting dan menarik bagi anak didik.
Dalam melaksanakan kurikulum terpadu, disusunlah unit sumber (reaasch unit) yang mencakup bahan (subject matter), kegaiatan  belajar (learning activity), dan sumber-sumber (resoserces) yang sangat luas. Sumber unit digunakan sebagai sumber untuk satuan pelajaran (learning unit) yang dipelajari anak didik di kelas. Perbedaan individual anak didik tidak harus selalu mempelajari yang sama, dan ada kebebasan bagi anak untuk memilih pelajaran yang minat, bakat dan kemamampuan mereka masing-masing. Pemahamanya bahwa unit sumber merupakan anak yang secara ideal dapat dipelajari anak didik, sedangkan satuan pelajaran merupakan apa yang secara aktual dipelajari anak didik.
Referensi
1.     Abdulah Idi. 2007. Pengembangan Kurikulum Teori dan Pratik. Ar RUZZ: Jogjakarta
2.     Burhan Nurgiyantoro. 1988.  Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum Sekolah (Sebuah Pengantar Teoritis dan Pelaksanaan). BPFE : Jogajakarta
3.     Nana Syodih Sukmadinata. Pengembangan Kurikulum Teori Dan Pratek. Remaja Rosdakarya: Bandung
4.     Oliva, Petter F. 1982. Developing The Curriculum. Little, Brown and Company: Boston.
5.     Sri Rahayu Chandrawati. 2009. Model-Model Pengembangan Kurikulum Dan Fungsinya Bagi Guru. http://chandrawati.wordpress.com/category/uncategorized/ di unduh pada tanggal 09 Maret 2016
6.     Recti Angralia. 2011. Model Pengembangan Kurikulum. http://www.blogger.com/profile/02486513995147437472 di unduh pada tanggal 09 Maret 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Wikipedia

Hasil penelusuran