1. Administratif
Model administratif
merupakan model pengembangan kurikulum yang paling lama, model ini sering
disebut “garis dan staf” atau “top down” atau “ line
staff”. Munculnya model tersebut berawal dari inisatif dan gagasan pengembangan
dari para administrator pendidikan dan menggunakan prosedur administrasi.
Pengembangan model ini bersentral pada wewenang dari pemerintahan pusat.
Pemerintahan pusat melalui pejabat pendidikan yang berwenang dalam semisal
dirjen pendidikan membentuk komisi pengarah pengembangan kurikulum. Anggota
komisi pengarah pengembangan kurikulum ini terdiri dari penjabat di bawah
dirjen, para ahli pendidikan, ahli kurikulum, ahli disiplin ilmu, dan para
tokoh dari dunia kerja dan perusahaan.
Adapun tugas dari
komisi pengarah kurikulum sebagai berikut:
1) Menyiapkan rumusan
falsasfah
2) Merumuskan
konsep-konsep dasar
3) Merumuskan landasan
4) Merumuskan
kebijaksanaan
5) Merumuskan strategi
utama
6) Merencanakan
garis-garis besar kebijaksanaan
7) Memberikan
garis-garis besar kebijaksanaan
8) Membentuk tujuan umum
pendidikan.
Setalah komisi tersebut menyelesaikan
tugas kemudian membentuk dan mengkaji secara seksama, kemudian membentuk komisi
kerja penngembangan kurikulum. Para anggota komisi ini terdiri dari para ahli
kurikulum dan pendidikan, ahli disipiln ilmu dari perguruan tinggi, guru-guru
bidang studi yang senior. Tugas dari tim kerja pengembangan bertugas
menyusun kurikulum yang sesungguhnya yang lebih operasional, dijabarkan dari
konsep-konsep dan kebijaksanaan dasar yangntelah digariskan oleh tim pengarah.
Tugas dari tim kerja pengembangan kurikululum ini yaitu:
1. Merumuskan
tujuan-tujuan yang lebih operasional dari tujuan umum
2. Memilih dan menyusun
sekeuens bahan pelajaran
3. Memilih strategi
pengajaran dan evaluasi
4. Serta menyusun pedoman
pelaksanaan kurikulum tersebut bagi guru.
Setelah semua tugas dari tim kerja
pengembang kurikulum, hasil kerja dari komisi ini kemudian dikaji oleh tim
pengarah serta para ahli yang kompeten atau penjabat yang kompeten. Selanjutnya
diadakan pengakajian tahap selajutnya adalah uji coba. Pelaksanaan uji coba
rancangan kurikulum tersebut adalah sebuah komisi yang ditunjuk panitia
pengarah yang anggotanya sebagaian besar terdiri dari kepala sekolah. Setelah
penelitian uji coba, komisi pengarah menelaah atau mengevaluasi sekali lagi rancangan
kurikulum tersebut baru kemudian memutuskan pelaksanaanya. Apabila sudah
diputuskan untuk memakai pengambangan kurikulum maka komisi pengarah
pengembangan akan memerintahkan sekolah-sekolah untuk melaksanakan kurikulum
tersebut.
Pengembangan kurikulim model
adminitratif tersebut menekankan kegiatannya pada orang-orang terlibat pada
yang terlibat sesuai denagan tugas dan fungsinya masing-masing. Berhubung
pengembangan kegiatan berasal dari atas ke bawah, pada dasarnya model ini mudah
dilaksanakan pada Negara yang menganut sistem sentralisasi dan negara dengan
kemampuan tenaga pengajaranya masih rendah. Kelemahan-kelemahan model ini
sebagi berikut :
a) Kurang pekanya terhadap adanya
perubahan masyarakat, di samping juga karena kurikulum ini biasanya bersifat
seragam secara nasional sehingga kadang-kadang melupakan atau mengambaikan
adanya kebutuhan dan kekhususan yang ada pada tiap daerah
b) Pada prinsipnya pengembangan kurikulum
dengan model ini bersifat tidak demokratis, karena prakarsa, inisiatif dan
arahan dilakukan melalui garis staf hirarkis dari atas ke bawah, bukan
berdasarkan kebutuhan dan aspirasi dari bawah ke atas;
c) Pengalaman menunjukkan bahwa model ini
bukan alat yang efektif dalam perubahan kurikulum secara signifikan, karena
perubahan kurikulum tidak mengacu pada perubahan masyarakat, melainkan
semata-mata melalui manipulasi organisasi dengan pembentukkan macam-macam
kepanitian.
d) Kelemahan utama dari model
administratif adalah diterapkannya konsep dua fase, yakni konsep yang mengubah
kurikulum lama menjadi kurikulum baru secara uniform melalui sistem sekolah
dalam dua fase sendiri-sendiri, yakni penyiapan dokumen kurikulum baru, dan
fase pelaksanaan dokumen kurikulum tersebut.
2. Model Grass Roots (Dari Bawah)
Jika pada
pemgembangan model administratif kegiatan pengembangan kurikulum berasal dari
atas, model ini inisatif justru berasal dari bawah, yaitu dari para penganjar
yang merupakan para pelaksana kurikulum di sekolah-sekolah. Model pengembangan
kurikulum administratif bersifat sentralisasi, sedangakan model grass roots
akan berkembang pada sistem pendidikan yang bersifat desentralisasi. Model ini
mendasarkan diri pada anggapan bahwa penerapan suatu kurikulum akan lebih
efektif jika para pelaksanaanya di sekolah sudah diikutsertakan sejak mula
pengembangan kurikulum itu.
Dalam model
pengmbangan yang bersifat grass roots seorang guru, sekelompok guru atau
keseluruhan guru di suatu sekolah mengadakan upaya pengembangan kurikulum.
Pengembangan atau penyempurnaan ini dapat berkenaan dengan suatu komponen
kurikulum, satu bidang studi atau beberapa bidang studi ataupun seluruh
bidang studi dan seluruh komponen kurikulum. Pengembangan model grass roots ini
juga menuntut adanya kerja antara guru antara sekolah secara baik, di samping
juga harus ada juga kerja sama dengan pihak di luar sekolah khususnya orang tua
dan mayarakat.
Pada pelaksanaanya,
para administrator cukup memberikan bimbingan dan dorangan kepada staf
pengajar. Setelah menyelesaikan tahap tertentu, bisanya diadakan lokakarya
untuk membahas hasil yang telah dicapai dan sebaliknya merencanakan kegiatan
yang akan dilakuakan selanjutnya. Pengikut lokakarya di samping para pengajar
dan kepala sekolah juga melibatkan orang tua dan anggota masyarakat lainya, serta
para konsultan dan para narasumber yang lain. Apabila kondisinya telah
memungkinkan, baik dilihat dari kemampuan guru-guru, fasilitasnya biaya maupun
kemampuan bahan-bahan kepustakaan, pengembangan model grass roots akan
dilaksanakan lebih baik. Orientasi yang demokratis dari rekayasa Model Grass
Roots bertanggung jawab membangkitkan apa yang menjadi dua aksioma kemantapan
sebuah kurikulum :
a) Bahwa sebuah
kurikulum hanya dapat diterapkan secara berhasil apabila guru-guru dilibatkan
secara intim dengan proses pembuatan (konstruksi) dan pengembangannya
b) Bukan hanya para
professional, tetapi murid, orang tua, anggota masyarakat lain harus dimasukkan
dalam proses pengembangan kurikulum.
Hal ini didasarkan pada atas
pertimbangan bahwa guru adalah peracana, pelaksana, dan juga penyempurna dari
pengajaran di sekolah. Dialah yang paling tahu kebutuhannya di kelas , oleh
karena itu dialah yang paling kompeten menyusun kurikulum bagi kelasnya. Hal
ini sesuai dengan prinsip-prinsip pengemnbangan kurikulum yang dikemukakan oleh
Smith, Stenley dan Shores dalam Nana Syaodih Sukmadinata (1999: 163):
a) The curriculum will improve only as the
professional competence of teacher improves.
b) The competence of teacher will be
improved only as the teacher become involved personally in the problems of
curriculum revision
c) If teacher share in shaping the goals
to be attained, in selecting, definding, and sloving the problems tobe
encountered , and in judging, and evaluating the rusults, their involvement
will be most nearly assured.
d) As people meet in face-to-face groups,
the will be able to understand one another better and to reach a
consensus on basic principles, goals and plans.
Guru adalah sebagai kunci dalam
rekayasa kurikulum yang efektif, digambarkan pada (4) prinsip yang menjadi
dasar Model Grass Roots, yaitu :
a) Kurikulum akan baik apabila kemampuan
profesioanl guru baik
b) Kompetensi guru akan membaik apabila
guru terlibat secara pribadi dalam masalah-masalah peibaikan (revisi) kurikulum
c) Jika guru urun rembug dalam membentuk
tujuan-tujuan yang akan dicapai dalam memilih, mendefinisikan, memecahkan
masalah yang akan dihadapi, mempertimbangkan dan menilai hasil maka
keterlibataimya paling terjamin
d) Karena orang bertemu dalam kelompok,
tatap muka, mereka akan dapat memahami satu sama lain lebih baik dan untuk
mencapai suatu konsensus berdasarkan prinsip-prinsip dasar, tujuan-tujuan dan
rencana-rencana
Secara singkat diagram kerja pengembangan
model grass roots sebagai berikut:
Pengembangan kurikulum yang bersifat
grass roots, mungking hanya berlaku untuk bidang studi tertentu atau sekolah
tertentu, tetapi munngking pula dapat digunakan untuk bidang studi
sejenis pada sekolah lain, atau keseluruhan bidang studi sekolsh atau
daerah lain. Keuntungan dari model ini adalah proses pengambilan
keputusan terletak pada pelaksana, mengikutsertakan pihak bawah khussnya para
staff mengajar dan memungking terjadinya kompetensi di dalam meningkatkan mutu
dan sistem pendidikan, yang pada giliranya akan melahirkan manusia-manusia yang
lebih mandiri dan kreatif.
3. Beuchamp
Sesuai dengan
namanya, model ini diformulasikan oleh G.A. Beauchamp (1964) , yaitu mengemukan
ada lima langkah penting dalam pengembilan keputusan pengembangan kurikulum.
Menurut Beauchamp untuk nierancang sebuah kurikulum harus ditempuh lima
(5) langkah. Langkah Pertama, Pejabat pemerintah yang berwenang dalam
pengembangan kurikulum harus menentukan lebih dahulu lokasi atau wilayah yang
akan dijadikan pilot proyek untuk pengembangan kurikulum. Pemilahan lokasi atau
wilayah yang ditentukan sesuai dengan skala pengembangan kurikulum yang telah
direncanakan. Bila kurikulum yang ingin dikembangkan berskala makro atau
nasional, maka wilayah atau lokasi yang akan dijadikan pilot proyek adalah
propinsi, seandainya bersifat daerah atau berskala mikro maka kabupaten dapat
dijadikan lokasi pilot proyek.
Langkah Kedua,
Setelah wilayah atau lokasi yang akan menjadi pilot proyek sudah ditetapkan,
maka langkah berikutnya adalah menentukan personalia yang akan ikut terlibat di
dalam pengembangan kurikulum. Beauchamp melibatkan orang-orang dari staf ahli
kurikulum, pakar kurikulum dari perguruan tinggi dan guru-guru sekolah yang
telah dipilih, pakar pendidikan, masyarakat yang dihimpun dari berbagai
kalangan yaitu dari pengarang atau penulis, penerbit, politikus, pejabat
pemerintah, pengusaha dan industriawan.
Langkah Ketiga, Bila
personalia sudah disusun dengan baik maka langkah berikutnya adalah pengorganisasian
person-person tersebut dalam lima (5) tim yang terdiri dari :
a) Tim pengembang
kurikulum
b) Tim peneliti
kurikulum yang sedang dipakai atau sedang dipergunakan
c) Tim untuk mempelajari
kemungkinan penyusunan kurikulum Beuchamp
d) Tim perumus untuk
kriteria-kriteria kurikulum yang akan disusun.
e) Tim penyusun dan
penulis kurikulum baru
Sedangkan prosedur
kerja yang akan dilalui adalah sebagai berikut :
a) Terumuskan tujuan
baik tujuan umum maupun tujuan khusus
b) Memilih atau
menseleksi materi
c) Menentukan pengalaman
belajar
d) Menentukan kegiatan
dan evaluasi
e) Menentukan desain
Langkah Keempat, Pada
langkah ini ditentukan implementasi kurikulum. Pelaksanaan kurikulum mempakan
pekerjaan yng cukup rumit karena membutuhkan kesiapan dalam banyak hal, seperti
guru sebagai pelaksana kurikulum dikelas, fasilitas, siswa, dana, manajerial
pimpinan sekolah atau administrator sekolah.
Langkah Kelima,
Setelah semua kebutuhan untuk kepentingan pelaksanaan atau implementasi terpenuhi
dan sudah dapat dilaksanakan, maka langkah berikutnya yang merupakan langkah
terakhir dari pengembangan kurikulum model beauchamp adalah mengevaluasi
kurikulum.
Beauchamp
mengemukakan hal-hal yang harus dievaluasi, yaitu :
a. Evaluasi terhadap
pelaksanaan kurikulum oleh guru
b. Evaluasi terhadap
desain kurikulum
c. Evaluasi terhadap
hasil belajar siswa
d. Evaluasi terhadap
sistem dalam kurikulum
Pengembangan
kurikulum model Beauchamps memandang pengembangan kurikulum tersebut dalam
prosesnya secara menyeluruh. Keuntangan model ini adalah adanya penegasan
areana yang kiranya akan mempermudah dan memperjelas ruang lingkup kegiatan.
Kelemahan seperti halnya model administratif, adlah kurang pekanya terhadap
perubahan masyarakat dan kurang memperhatikan keadaaan daerah yang antara satu
dengan lainnya menuntutnya ada kekhususan-kekhususan tertentu.
4. Ralph Tyler
Dalam bukunya yang berjudul Basic
Principles Curriculum and Instruction (1949), Tyler mengatakan bahwa curriculum
development needed to be treted logically and systematically. Ia berupaya
menjelasskan tentang pentingnya pendapat secara rasional, menganalisis,
menginterpretasi kurikulum dan program pengajarannya dari suatu pengajaran dari
suatu lembaga pendidikan. Pengembangan kurikulum model Tyler ini mungkin yang
terbaik, dengan penekanan khusus pada fase perencanaan. Walaupun Tyler
mengajukan model pengembangan kurikulum secara komprehensif tetapi bagian
pertama dari modelnya (seleksi tujuan) menerima sambutan yang hangat dari para
educator.
Langkah-langkah pengembangan kurikulum:
a. Langkah l: Tyler
merekomendasikan, bahwa perencana kurikulum agar mengidentifikasikan tujuan
umum (tentative general objectives) dengan mengumpulkan data dari tiga sumber,
yaitu : kebutuhan peserta didik, masyarakat (fimgsi yang diperlukan) dan
subject matter.
b. Langkah 2: Setelah
mengidentifikasi beberapa buah tujuan umum, perencana merifinenya dengan cara
menyaring melalui dua saringan, yaitu filosofi pendidikan dan psikologi
belajar. Hasilnya akan menjadi Tujuan pembelajaran khusus dan meyebutkannya
juga pendidikan sekolah dan filosofi masyarakat sebagai saringan pertama untuk
tujuan iniSelanjutnya perlu disusun garis-garis besar nilai-nilai yang didapat
dan mengilustrasikannya dengan memberi tekanan pada empat tujuan demokratis.
Untuk melaksanakan penyaringan, para pendidik harus menjelaskan prinsip-prinsip
belajar yang baik, dan psikologi belajar memberikan ide mengenai jangka waktu
yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan waktu untuk melaksanakan kegiatan
secara efesien. Tyler pun menyarankan agar pendidik memberi perhatian kepada
cara belajar yang dapat :
1) Mengembangkan
kemampuan berpikir
2) Menolong dalam
memperoleh informasi
3) Mengembangkan sikap
masyarakat
4) Mengembangkan minat
5) Mengembangkan sikap
kemasyarakatan
c. Langkah 3: Menyeleksi
pengalaman belajar yang menunjang pencapaian tujuan. Penentuan pengalaman
belajar harus mempertimbangkan persepsi dan pengalaman yang telah dimililiki
oleh peserta didik.
d. Langkah 4: Mengorganisasikan
pengalaman kedalam unit-unit dan menggambarkan berbagai prosedur evaluasi
e. Langkah 5: Mengarahkan dan
mengurutkan pengalaman-pengalaman belajar dan mengkaitkannya dengan evaluasi
terhadap keefektifan perencanaan dan pelaksanaan.
f. Langkah 6: Evaluasi pengalaman
belajar. Evaluasi merupakan komponen penting dalam pengembangan kurikulum
Sehubungan dengan hal tersebut Tyler
(1949) memperingatkan agar dibedakan antara konten (isi) pelajaran atau
kegiatan-kegiatan belajar dengan pengalaman-pengalaman belajar, karena
pengalaman belajar merupakan pengalaman yang diperoleh dan dialami anak-anak
didik sebagai hasil belajar dan interaksi mereka dengan konten (isi) dan kegiatan
belajar. Untuk mengembangkan pengalaman belajar yang mereka peroleh harus
bermuara pada pemberian pengalaman para pelajar yang dirancang dengan baik dan
dilaksanakan dengan benar. Dari beberapa konsepsi kurikulum diatas kelihatan
bahwa kurikulum dapat dilihat dari segi yang sempit atau dari segi yang luas
(sebagai pengalaman yang diperoleh di sekolah atau diluar sekolah).
5. Inverted Model Taba
Pada beberapa buku
karya Hilda Taba yang paling terkenal dan besar pengaruhnya adalah Curriculum
Development: Theory and Pratice (1962). Dalam buku ini, Hilda Taba
mengungkapkan pendekatanya untuk proses pengembangan kurikulum. Dalam
pekerjaanya itu, Taba mengindetifasikan model dasar Tayler agar lebih
representatif terhadap pengembangan kurikulum di berbagai sekolah. Model
pengembangan kurikulum ini oleh Hilda Tiba ini berbeda dengan lazimnya yang
banyak diitempuh secara yang bersifat dekduktif karena caranya induktif. Oleh
Karena itu sring disebut “Model Terbalik” atau “Inverted Model” .
Pengembangan
kurikulum model ini diawali dengan melakukan percobaan, penyusunan teori, dan
kemudian baru ditetapkan. Hal itu diharapkan dimaksudkan untuk lebih
mempertemukan antara teori dan pratik, serta menghilangkan sifat keumuman
dan keabstrakan yang terjadi dalam kurikulum yang dilakukan tanpa kegiatan
percobaan. Dalam pendekatanya, Taba menganjurkanuntuk lebih mempunyai informasi
tentang masukan (input) pada proses setiap langkah proses kurikulum, secara
khusus, Taba mengajurkan untuk menggunakan pertimbangan ganda terhadap isi
(organisasi kurikulum yang logis) dan individu pelajar (psikologis kurikulum).
Untuk memperkuat pendapatanya, Taba mengkalim bahwa semua kurikulum disusun
dari elemen-elemen dasar. Suatu kurikulum bisanya berisi seleksi dan organisasi
isi; itu merupakan manisfetasi atau implikasi dari bentuk-bentuk (patterns)
belajar dan mengajar. Kemudian, suatu program evaluasi dari hasil pun akan
dialakukan.
Perekayasaan
kurikulum secara tradisional dilakukan oleh suatu panitia yang dipilih. Panitia
ini bertugas :
a) Mempelajari daerah-daerah fundasional
dan mengembangkan rumusan kesepakatan fundasional
b) Merumuskan desain kurikulum secara
menyeluruh berdasarkan kesepakatan yang telah dirumuskan
c) Mengkonstruksi unit-unit kurikulum
sesuai dengan kerangka desain
d) Melaksanakan kurikulum pada tingkat
atas.
Taba percaya bahwa esensial proses
deduktif ini cendemng untuk mengurangi kemungkinan-kemungkinan inovasi kreatif,
sebab membatasi kemungkinan mengeksperimentasikan konsep-konsep baru
kurikulum.Taba menyatakan bahwa :
a) Bila perubahan nilai dari mendesain
ulang kerangka yang menyeluruh maka sebelumnya harus ditetapkan lebih dahulu
suatu pola yang akan dipelajari dan diuji.
b) Panitia penyusunan kurikulum yang
tradisional itu dapat menduduld rencana-rencana kurikulum yang bermanfaat,
bagian dari desain itu sendiri hanya atas dasar logika bukan empiric
c) Karena mereka tidak melakukan pengujian
secara empirik, kurikulum yang dihasilkan cenderung merupakan skema / sket
bagan yang sangat umum dan abstrak dan sedikit membantu untuk melaksanakan
praktek instruksional
Ketiga masalah tersebut menunjukkan
efesiensi perekayasaan kurikulum yang tradisional dan kesenjangan antara teori
dan praktek. Suatu contoh adanya disfungsi dalam teori praktek terdapat pada
core kurikulum yang dirancang untuk mengajukan
(1) Integrasi isi /
materi,
(2) Hubungan dengan
kebutuhan siswa
Jalannya praktek core tersebut umumnya
hanya merupakan reorganisasi administratif, block of time mata ajaran-mata
ajaran yang terpisah-pisali, dan dimana masalah-masalah kehidupan terisolasi
dari materi (content) yang valid. Bentuk core yang dilaksanakan berdasarkan
rekayasa deduktif menghasilkan pemisahan teori dan praktek
Taba mengajukan pandangan yang
berlawanan dengan urutan tradisional dengan mengembangkan inverted model, yakni
: langkah awal dimulai dari perencanaan unit-unit mengajar-belajar yang
spesifik oleh para guru, bukan diawali aengan desain kerangka (framework) yang
umum. Urut-unit tersebut diuji / dilaksanakan dalam kelas, yang ada pada
gilirannya digunakan sebagai dasar empirik untuk menentukan desain yang
menyeluruh (overall design). Keuntungan digunakannya inverted sequence ini
ialah :
a) Membantu untuk menjembatani
kesenjangan antara teori dan praktek karena produksi unit-unit tadi
mengkombinasikan kemampuan teoritik dan pengalaman praktis.
b) Kurikulum yang
terdiri dari unit-unit mengajar-belajar yang disiapkan oleh guru-guru lebih
mudah diintroduser ke sekolah, berarti lebih mudah dimengerti dibandingkan
dengan kurikulum yang umum dan abstrak yang dihasilkan oleh umtan tradisional
c) Kurikulum yang
terdiri dari kerangka umum dan unit-unit belajar-mengajar lebih berpengaruh
terhadap praktek kelas dibandingkan dengan kurikulum yang ada
Langkah-langkah pengembangan kurikulum
Hilda Taba (1962) mengemukakan perekayasaan kurikulum terdiri atas 5 langkah
berurutan, ialah :
a) Langkah Pertama,
Experimental Production of Pilot Units. Kelompok tenaga pengajar membuat unit
eksperiment sebagai ajang untuk melakukan studi tentang hubungan teori dan
praktek. Untuk itu diperlukan
(1) Perencanaan yang didasarkan
atas teori yang kuat
(2) Eksperimen didalam
kelas yang dapat menghasilkan data empiris untuk menguji landasan teori yang
digunakan.
Hasil dari langkah ini berupa teaching-leaming unit yang
masih bersifat draft yang siap diuji pada langkah berikutnya. Unit eksperimen
ini dirancang melalui delapan kegiatan sebagai berikut:
1) Diagnosing needs; Tenaga
pengajar mengidentifikasi masalah-masalah, kondisi, kesulitan serta
kebutuhan-kebutnhan siswa dalam suatu proses pengajaran. Lingkup diagnosis
tergantung pada latar belakang program yang akan direvisi, termasuk didalamnya
tujuan konteks dimana program tersebut difungsikan
2) Formulating Specific
Objectives; Formulasi tujuan-tujuan khusus, sebagai penjabaran dari tujuan umum
yang dimmuskan berdasarkan kebutuhan-kebutuhan yang telah diidentifikasi yang
menjadi titik berat pada teaching leaming unit. Namun demikian tidak semua
tujuan khusus tersebut dapat tercapai oleh masing-masing imit.
3) Selecting Content; Pemilihan
isi (materi) berdasarkan kesepadanan dengan tujuan khusus, dan harus
mempertimbangkan tingkat validitas dan signifikannya. Karena itu periu
dilakukan seleksi terhadap tingkatan isi (materi) yang meliputi pemilihan topik
utama, pemilihan ide-ide dasar dan pemilihan materi khusus.
4) Organizing Content; Pengorganisasian
materi dilakukan berdasarkan tingkat kemampuan awal serta minat siswa.
Pengorganisasian isi disusun dari konkrit keabstrak dan dari mudah ke sulit.
5) Selecting Learning
Experiences (Avtivities); Pengalaman belajar disusun dengan maksud
terjadi interaksi antara siswa dan materi pelajaran. Karena setiap materi
memiliki beberapa fungsi tertentu.
6) Organizing Leaming
Experiences Avtivities; Pengalaman belajar siswa disusun dan diorganisasikan
dengan sekuensi dan organisasi materi (content). Kegiatan belajar siswa
diarahkan dari induktif kegeneralisasi dan abstraksi serta difokuskan pada
pengembangan ide-ide utama, langkah-langkah perolehan konsep dan prilaku yang
baik.
7) Evaluating; Evaluasi
dilakukan untuk mengetahui tingkat pencapaian tujuan unit oleh siswa. Hasil
evaluasi berguna untuk menentukan tujuan, diagnosis kesulitan belajar, serta
penilaian dalam rangka pengembangan dan revisi kurikulum.
8) Checking for Balance
and Sequence; Setelah garis besar teaching leaming dirancang lengkap,
selanjutnya perlu dicek konsistensi antara semua bagian yang berkenaan dengan
keseimbangan dan urutan topik-topik yang telah tersusun atau unsur-unsur dalam
unit tersebut
b) Langkah Kedua,
Testing of Experimental Units. Teaching-leaming units yang dihasilkan pada
langkah pertama perlu diujicobakan di kelas-kelas eksperimen pada berbagai
situasi dan kondisi belajar. Pengujian dilakukan untuk mengetahui tingkat
validitas dan keyakinan terap bagi tenaga pengajar yang berbeda-beda gaya
mengajar dan kemampuan melaksanakan pengajaran unit. Hasil uji coba menjadi
masukan bagi penyempumaan draft kurikulum.
c) Langkah Ketiga,
Revising dan Consolidating. Revisi dan penyempumaan draft teaching leammg units
dilakukan berdasarkan data dan informasi yang terkumpul selama langkah
pengujian. Pada langkah ini dilakukan pula penarikan kesimpulan (konsolidasi)
tentang konsistensi teori yang digunakan. Langkah ini dilakukan bersama oleh
koordinator kurikulum dan ahli kurikulum. Produk langkah ini berupa teaching
leaming units yang telah teruji di lapangan. Bila hasilnya sudah memadai, maka
unit-unit tersebut dapat disebarkan dalam lingkup yang lebih luas.
d) Langkah Keempat
Developing a Framework. Pengembangan keseluruhan kerangka kurikulum dilakukan
guna menjamin :
1) Apakah ide-ide dan
konsep-konsep dasar yang digunakan telah terakomodasi? Apakah lingkup isi telah
memadai?
2) Apakah isi telah
tersusun berurutan secara logis?
3) Apakah aktivitas
pembelajarannya memberikan peluang untuk pengembangan keterampilan mtelektual
dan pemahaman emosi secara kumulatif.
Pengembangan ini
dilakukan oleh ahli kurikulum dan para professional kurikulum lainnya. Produk
dari langkah-langkah ini adalah dokumen kurikulum yang siap untuk
diimplementasikan dan diidentifikasikan.
e) Langkah Kelima,
Instalation and Desimination of The New Unit. Instalasi dan desiminasi adalah
peresmian dan penyebarluasan kurikulum hasil pengembangan, sebagai sub sistem
pada sistem sekolah secara menyeluruh. Tanggung jawab tahap ini dibebankan pada
administrator sekolah. Penerapan kurikulum merupakan tahap yang ditempuh dalam
kegiatan pengembangan kurikulum. Pada tahap ini harus diperhatikan berbagai
masalah : seperti kesiapan tenaga pengajar untuk melaksanakan kurikulum di
kelasnya, penyediaan fasilitas pendukung yang memadai, alat atau bahan yang
diperlukan dan biaya yang tersedia, semuanya perlu mendapat perhatian dalam
penerapan kurikulum agar tercapai hasil optimal.
6. The Demotrasion Model
Model demontrasi pada dasarnya bersifat
graas roots datangya dari bawah. Model ini diprakasai oleh sekelompok guru atau
sekelompok guru berkerja sama dengan ahli yang bermaksud mengadakan perbaikana
kurikulum. Model ini hanya berskala kecil model ini hanya mencakup satu atau
beberapa sekolah, suatu komponen atau mencakup keselurahan komponen kurikulum.
Karena sifatnya ingin mengubah atau mengganti kuirkulum yang ada, mendapat
tentangan dari banyak pihak.
Menurut Smith, Stanley dan Shores,
model demonstrasi dilaksanakan dalam dua bentuk, yakni :
a) Bentuk pertama, Guru-guru yang
diorganisasi dalam kelompok melaksanakan suatu proyek pengembangan
eksperimental kurikulum. Unit ini melakukan pengembangan dan riset intemal
sekolah, yang bermaksud menghasilkan segmen baru dari kurikulum, lalu
dipertunjukan kepada sekolah dengan harapan dapat diserap oleh sekolah secara
keseluruhan. Jadi model ini dimulai dan diorganisasi oleh hirarki administratif
serta menyajikan suatu variasi model administrative perekayasaan kurikulum.
b) Bentuk kedua, model demonstrasi disusun
kurang formal dibandingkan dengan model pertama. Beberapa orang guru yang tidak
puas terhadap kurikulum yang ada kemudian melakukan eksperimen dalam area
tertentu dalam kurikulum dengan maksud menemukan altematif pelaksanaan
kurikulum. Berdasarkan eksperimen im diciptakan unit-unit kurikulum yang
dinilai berhasil oleh suatu regu penelitian dan pengembangan informal dan
kemudian diajukan untuk diserap oleh sekolah. Jadi bentuk model demonstrasi ini
mewakili pendekatan the Grass Roots untuk merekayasa kurikulum.
Kesimpulan model ini antara lain:
a. Kurikulum yang dihasilkan melalui
proses ini telah diuji dalam situasi-situasi eksperimental, dan oleh karenanya
menyediakan altematif kurikulum yang dapat dilaksanakan dalam praktek dan
sistem sekolah
b. Perubahan dalam
bentuk yang spesifik yakni segmen-segmen kurikulum yang dapat
dilaksanakan.memudahkan untuk menghadapi hambatan yang sering terjadi bila
hendak melakukan revisi secara menyeluruh (sistem yang luas)
c. Hakekat model demonstrasi berskala
kecil memudahkan pendekataan Front terhadap inovasi kurikulum untuk
menghindarkan kesenjangan antara dokumen dan pelaksanaannya yang ada pada model
administrative
d. Model demonstrasi
khususnya dalam bentuk Grass Roots menggerakkau inisiatif dan sumber guru-guru
dan memberdayakan sumber-sumber administratif untuk memenuhi kebutuhan dan
minat guru-guru dalam upaya mengembangkan program-program baru.
Kerugian utama model demonstrasi ialah
karena model ini menciptakan pertentangan-pertentangan dikalangan guru.
Guru-guru yang tidak ikut serta dalam proses pengembangan kurikulum cenderung
menganggap guru-guru yang melakukan eksperimen dengan keraguan dan tidak yakin.
Mereka menganggap kalaulah hasil eksperimen itu baik namun kelompok tersebut
tidak terbimbing bahkan dianggap elit yang oportunistik. Perasaan dan sikap
demikian pada gilirannya menghambat penyerapan terhadap inovasi kurikulum.
Karena itu suatu komponen yang penting pada model demonstrasi adalah perlu
diadakannya komunikasi terbuka antara guru-guru yang melakukan eksperimen
dengan pihak berwenang (misalnya perguruan tinggi yang terkait), yang bertujuan
untuk mencegah rasa keraguan / rasa tidak diikutsertakan, sebaiknya kelompok
eksperimen melakukan serangkaian demonstrasi hasil-hasil pekerjaan mereka untuk
memuaskan berbagai pihak, misalnya perguruan tinggi dan para siswa sehingga
inovasi kurikulum yang telah mereka lakukan bukan hanya eksperimental belaka
melainkan dapat diserap dan dilaksanakan dalam lingkungan sistem sekolah.
7. Roger Interpersonal Relations Model
Meskipun Rogers bukan seorang ahli
pendidikan tetapi ahli psikologi tetapi konsep-konsepnya, tetaapi konsep-konsepnya
tentang psikoterapi khusunya dalam membimbing individu juga dapat diterapkan
dalam bidang pendidikan dan bidang pendidikan. Dia sangat terkenal dengan
pendekatan "nondirectve" dan "humanistic" dalam pengajaran
dan perencanaan kurikulum. Memang ia banyak mengukapkan konsepnya tentang
perkembangan dan perubahan individu.
Muriel Crosby dalam bukunya yang
berjudul "Who changes the Curriculum and?" dan diterbitkan
oleh Allyn & Bacon Publishers pada tahun 1970 mengungkapkan :
"perubahan kurikulum adalah perubahan manusia" (Curriculum change is
people change) sangat berkait erat dengan konsep yang dikemukakan Carl Rogers
melalui model pengembangan kurikulum yang berpusat pada perubahan manusia (people
change).
Menurut Rogers manusia berada dalam
proses perubahan (becoming, developing, chaging), sesungguhnya ia memepunyai
kekuatan dan potensi untuk berkembang sendir, tetapi karena ada
hambatan-hambatan tertentu ia membutuhkan orang untuk membantu
mempelanacar atau memepercepat perubahan tersebut. Pendidikan juga tidak lain
merupakan upaya untuk membantu mempelancar atau mempercepat perubahan tersebut.
Guru serta pendidik lainya bukan memberikan informassi apalagi penentu
perkembangan anaknya, mereka hanyalah pendorong dan pemenlancar perkembangan
anak.
Rogers memperluas tentang terapi
sebagai suatu model belajar untuk pendidikan : ia percaya bahwa hubungan antar
insani yang positif memungkinkan orang tumbuh dan oleh karenanya pengajaran
harus berdasarkan konsep human relation bukan pada mata pelajaran. Guru
berperan sebagai fasilitator yang memiliki personal relationship dengan siswa
dan membimbing pertumbuhan dan perkembangan mereka.
Salah satu cara untuk proses itu adalah
melalui proses pendidikan, sebab pendidikan merupakan upaya untuk memperlancar
dan mempercepat perubahan pada diri manusia, Guru serta unsur-unsur pendidik
lainnya bukan sebagai pemberi informasi atau penentu perkembangan anak, tetapi
mereka hanya pendorong dan yang memperlancar perkembangan individu yang belajar.
Dengan model pengembangan kurikulum
interpersonal relation ini, Carl Rogers berpendapat, bahwa kurikulum
diperlakukan dalam rangka mengembangkan individu yang terbuka, luwes dan
adaptif terhadap situasi perubahan.
Kurikulum tersebut hanya dapat disusun
dan diterapkan oleh unsur-unsur pendidikan serta yang lainnya yang terbuka,
luwes dan berorientasi pada proses. Untuk itu diperiukan pengalaman kelompok
dalam latihan sensitif (sensitivity traming).
Ada empat tahap dalam pengembangan
kurikulum model "Rogers Interpersonal Relation", yaitu:
a. Pemilihan suatu
target sistem pendidikan; Penentuan target ini berdasarkan kriteria yang
menjadi pegangan yakni adanya kesediaan dari administrator / pejabat pendidikan
untuk turut serta dalam kegiatan kelompok intensif. Selama satu minggu para
administrator / pejabat pendidikan melakukan kegiatan kelompok dalam suasana
yang rileks / tidak formal, untuk itu diperlukan suatu tempat khusus yang agak
terpisahjauh dari kehidupan kerja.Melalui kegiatan kelompok itu, mereka akan mengalami
perubahan-perubahan sebagai berikut:
1) Tidak terlalu
mempertahankan pendiriannya, sehingga dapat menerima saran orang lain.
2) Lebih mudah untuk
menerima ide-ide pembaharuan.
3) Mampu mengurangi
kekuasaan birokratis.
4) Komunikasinya lebih
jelas serta realistis terhadap atasan, teman sebaya dan bawahan
5) Lebih berorientasi
pada sifat kemanusiaan dan demokratis
6) Lebih terbuka untuk
menyelesaikan perselisihan antar sesama anggota kelompok.
7) Lebih mampu untuk
menerima saran dan kritik demi perbaikan.
b. Pengalaman kelompok
yang intensif bagi guru; Pertemuan selama seminggu atau pertemuan yang diadakan
dalam minggu akhir yang panjang perlu diadakan untuk saling mengenal antar
sesama peserta. Dalam pertemuan tersebut diharapkan terjadi pertukaran
informasi. Demikian pula guru yang skeptis dan menentang mungkin akan melihat
pembaharuan dari sisi lain, sehingga kemungkinan besar terjadi perubahan sikap
menerima. Keikutsertaan guru dalam kelompok sebaiknya bersifat sukarela. Efek
yang akan diterima guru-guru sama dengan para administrator pendidikan, dengan
beberapa tambahan sebagai berikut:
1) Lebih mampu untuk
mendengarkan keluhan siswa.
2) Mau menerima
pembaharuan melalu peritiwa "siswa menggangu" kelas oleh siswa
tertentu dari pada siswa yang pendiam.
3) Sangat perhatian
terhadap hubungannya dengan para siswa, begitu juga yang dilakukannya terhadap
isi mata pelajaran.
4) Masalah yang timbul
dipecahkan bersama dengan para siswa dan tidak melalui tindakan hukuman.
5) Mampu mengembangkan
suasana kesamaan hak dan kewajiban sehingga timbul suasana demokratis di dalam
kelas.
6) Pengembangan
pengalaman kelompok vanp intensif bagi kelas
c. Mengikutsertakan satu
unit kelas dalam pertemuan lima hari. Selama lima hari penuh siswa ikut serta
dalam kelompok secara aktif, den^an fasilitator para guru, administrator
pendidikan, dan administrator dari luar. Dengan kegiatan itu diharapkan
menumbuhkan suasana hubungan yang baik antara siswa yang satu dengan yang lain.
Perubahan yang terjadi pada diri siswa:
1) Merasa bebas
mengemukakan pendapatnya didalam kelas
2) Semangat untuk
belajar bertambah, karenanya timbul persaingan yang sehat untuk pandai.
3) Memiliki tenggang
rasa dalam hubungan antar siswa di dalam pergaulan sehari- hari.
4) Tidak mempunyai rasa
tertekan karena tidak mengenal istilah hukuman yang bersifat fisik.
5) Dia hormat dan patuh
pada guru maupun admistrator karena adanya wibawa.
6) Mempunyai anggapan
bahwa dengan belajar akan mampu menghadapi kehidupan masa depan.
d. Keterlibatan orang
tua dalam pengalaman kelompok yang intensif; Kegiatan ini dapat dikordinasi
oleh persatuan orang tua pada masing-masing sekolah. Kegiatan kelompok
berlangsung selama tiga jam tiap sore selama satu minggu atau dua puluh satu
jam selama tiga hari terus menerus. Jika kemungkinan, pertemuan demikian agar
berbarengan dengan pertemuan unit kelas. Tujuan utama kegiatan ini adalah
supaya orangtua, staf pengajar dan pimpinan sekolah atau administrator
pendidikan lainnya dapat saling mengenal secara pribadi sehingga memudahkan
pemecahan-pemecahan persoalan-persoalan yang dihadapi dunia pendidikan,
khususnya persekolahan. Carl Rogers juga menyarankan, kalau mungkin ada
pengalaman kegiatan kelompok yang bersifat campuran kulminasi dari model
interpersonal adalah diselenggarakannya kelompok-kelompok vertical ("vertical
groups") yang diikuti oleh partisipan. Perubahan kurikulum yang
berhasil dapat dicapai bila ada hubungan efektifsecara horizontal dan across
status-role lines.
Saran Carl Rogers tersebut adalah
perlunya diadakan pertemnan vertical yang mendobrak hierarki birokrasi dan
status sosial. Peserta kegiatan tersebut terdiri dari dua orang administrator,
dua orang pimpinan sekolah, dua orang stafpengajar dan dua orang siswa.
Model pengembangan kurikulum ini
mengutamakan hubungan antar pribadi yaitu penciptaan suasana akrab antar
unsur-unsur pendidikan yang terlibat didalam pengembangan kurikulum, yaitu :
adnunistrator, pimpinan sekolah, guru-guru serta para siswa, kebaikkannya
antara lain :
a) Sedikit kemungkinan
terjadinya tekanan hierarld yang bersifat menghambat, sehingga diharapkan dapat
menerapkan kurikulum yang lebih besar.
b) Masing-masing unsur
pendidikan khususnya yang terlibat langsung dalam pelaksanaan kurikulum, yaitu
para guru tidak ragu mengemukakan pendapat dan gagasannya dalam pengembangan
kurikulum
c) Tidak timbul adanya
dominasi kuat dari pihak "pusat/atas" untuk memaksakan kehendak
politik di bidang pendidikan khususnya pengembangan kurikulum.
Ada tampaknya hal yang dapat dianggap
sebagai tanda-tanda kelemahan / kekurangan pada model "Rogers
Interpersonal Relation " dalam pengembangan kurikulum antara lain:
a) Tampaknya tidak ada
batas hubungan antara siswa dengan guru atau unsur pendidik lainnya, sehingga
dikhawatirkan luntumya rasa hormat pada diri siswa.
b) Memerlukan waktu yang
lama dan sulit ditargetkan untuk penyelesaian secara tuntas dalam penyusunan
kurikulum baru sebagai hasil dari pengembangan kurikulum.
c) Memerlukan biaya yang
tidak sedikit, mengingat banyaknya unsur yang terlibat sertajenis kegiatan yang
dilakukan.
d) Keterlibatan berbagai
unsur pendidikan dalam proses pengembangan kurikulum tersebut, kemungkinan
besar mengakibatkan kesulitan dalam pengorganisasiannya
8. D. K. Wheeler
Dalam bukunya yang cukup berpengaruh,
Curriculum Process, Wheeler (1967) mempunyai argumen tersendiri pengembangan
kurikulum (curriculum developers) dapat menggunakan suatu proses melingkar (a
cycle process), yang namanya setiap elemen saling berhubungan dan
bergantungan.
Pendakatan yang digunakan Wheeler dalam
pengembangan kurikulum pada dasarnya memiliki bentuk rasional. Setiap langkah
kurikulum pada dasarnya memiliki bentuk rasional. Setiap langkah (phase)nya
merupakan pengembangan secara logis terhadap model sebelumnya, di mana secara
umum langkah tidak dapat dilakukan sebelum langkah-langkah sebelumnya telah
diselesaikan. Sebagai mantan akademisi Univerrsity of Western Australia,
Wheeler mengembangkan ide-idenya sebagimana yang telah dilakukan pleh Tayler
dan Taba. Wheeler menawarkan lima langkah itu jika dikembangkan dengan logis
temporer, akan menghasilkan suatu kurikulum yang efektif. Dari lima langkahnya
ini, sangat tampak bahwa Wheeler mengembangkan lebih lanjut apa yang telah
dilakukan Tyler dan Taba meski hanya dipresentasikan agak berbeda.
Langkah-langkah atau phases Wheeler
(Wheeler’s phases) adalah:
Selection of aims, goals, and
objectives (seleksi maksud, tujuan, dan sasarannya)
Selection of learning exprerinces to
help achieve these aims, goals and objectives (seleksi pengalaman belajar untuk
membantu mencapai maksud, tujuan, dan sasaran.)
1) Selection of content
through which certain types of experiences may be offered (Seleksi isi melalui
tipe-tipe tertentu dari pengalaman yang mungking ditawarkan)
2) Organization and
intergration of learning exprinces and content with respect to the teaching
learning process (organisasi dan intergrasi pengalaman belajar dan isi yang
berkenaan dengan proses belajar dan mengajar)
3) Evalution of esch
phase and the problem of goals (evaluasi setiap fase dan masalah-masalah
tujuan)
Kelebihan dari model adalah :
1) Memasukan berbagi
kematangan yang berhubungan dengan objectives
2) Struktur logis
kurikulum yang dikembangkannya
3) Menerapkan
situasiasional analisys sebagai titik permulaan
Kekurangan dari model ini:
1) Wajahnya yang
bersifat logis
2) Pengimplementasiannya
9. Audrey dan Howard Nicholls
Dalam bukunya, developing curriculum: A
Participial Guide (1978), Audrey dan Howard Nicholls mengembangkan suatu
pendekatan yang cukup tegas mencakip elemen-elemen kurikulum dengan jelas dan
ringkas. Buku tersebut sangat popular di kalangan pendidik, khususnya di
Inggirs, di mana pengembangan kurikulum pada tingkat sekolah sudah lama ada.
Nicholas menitikberatkan pada
pendekatan pengembangan kurikulum yang rasional, khususnya kebutuhan untuk
kurikulum yag munculnya dari adanya perubahan situasi. Mereka berpendapat bahwa
:” …change should be planed and introduced on a rational and valid this
according to logical process, and this has not been the case in the vast
majority of changes that have already taken place”
Audrey dan Nichllos mendefinisikan
kembali metodenya Tyler, Taba, Wheeller dengan menekan pada kurikulum proses
yang bersiklus atau bentuk lingkaran, dan ini dilakuakan demi langkah awal,
yaitu analisis situasi (situasional analysis). Kedua penulis ini mengukapkan
bahwa sebelum elemen-elemen tersebut diambil atau dilakukan dengan lebih jelas,
konteks dan situasi di mana keputusan kurikulum itu harus dibuat harus
diperrtimbangkan dengan secara mendetail dan serius. Dengan demikian,
analisis situasi menjadi langkah pertama (preliminary stage) yang membuat
para pengembang kurikulum memahami faktor-faktor yang akan mereka kembangkan.
Terdapat lima langkah atau tahap
(stage) yang diperlukan dalam proses pengembangan secara kontinu (continue
curriculum process). Langkah-langkah terbut menurut Nicholls adalah;
a. Situsional analysis
(analisis keadaan)
b. Selection of
objectives (seleksi tujuan)
c. Selection ang
organization of content (seleksi dan pengorganisasian isi)
d. Selection and
organization of methods (seleksi dan organisasi metode)
e. Evaluation (evaluasi)
Masuknya fase analisis situasi
(situasioanal analysis) merupakan suatu yang disengaja untuk memaksa para
pengembang kurikulum lebih reposintif terhadap lingkungan dan secara khusus
dengan kebutuhan anak didik, kedua penulis ini menekankan perlunya memakai
pendekatan yang lebih komprehensif untuk mendiagnosis semua faktor menyangkut
semua situasi dengan diikuti penggunaan pengetahuan dan pengertian yang berasal
dari analisis tersebut dalam perencanaan kurikulum.
10.
Decker Walker
Pada awal 1970, Decker Walker
berpendapat bahwa objectives atau rational model dalam proses kurikulum ini
tidak menerrima pendapat dalam literaratur yang tidak populer. Walker (1971)
berpendapat bahwa pengemabangan kurikulum tidak mengikuti pendekatan yang telah
ditetntukan dari urutan yang rational dari elemen-elemen kurikulum ketika
mereka mengembangkan kurikulum. Lebih baik memprosesnya melalui tiga fase di
dalam persiapan natural daripada dalam kurikulum.
Kesimpulan tersebut berasal dari
analisis Walker terhadap laporan proyek kurikulum, seperti CHEM Stuidi, BSCS,
SMSG serta partisipasi pribadinya dalam proyek kurikulum bidang kesenian.
Analisis Walker menguraikan apa yang telah dilihat sebagai model alami dalam
proses kurikulum. It is a naturalistic model in the sense that it was
constructed to represent phenomena and realtions observed in actual curriculum
projects faithfully as possible with a few terns and principles.
Ada empat fase dalam pengembangan model
kurikulum ini yakni:
a. Fase pertama; Walker
mempunyai argument bahwa pernyataan platform di organisasikan oleh para
pengembang kurikulum dan pernyataan tersebut berisi serangkian ide, prefensi
dan pilihan, pendapat, keyakinan, dan nilai-nilai yang dimiliki kurikulum.
Aspek-aspek tersebut mungkin tidak definisikan atau secara logis, tapi
mereka membrntuk basis platform sehingga kurikulum mendatang bisa dibuat oleh
pengembang kurikulum (curriculum developers).
b. Fase kedua; Walker
berpendaoat bahwa pengembang kurikulum tidak memula tugas dalam keadaan kosong
(a blank state), nilai-nilai, konnsepsi, dan hal-hal pengembangan kurikulum
sebagai menngindinkasikan adanya kesukaan den perlakuan sebagai dasar
(paltfrom) mengembangkan kurikulum. Walker mengajurkan bahwa: The Platfrom
includes an idea of what is ought to be and these guides the curriculum
developer in the dertemining what should be do to realize his vision
c. Fase ketiga; Ketika
interaksi di antara individu dimulai, mererka kemudian memasuki fase
pertimabangan yang mendalam. Walker berpendapat bahwa selama fase ini, individu
mempertahankan pertanyaan platform mereka sendiri dan menekanakan pada idde-ide
yang ada. Berbagai peristiwa ini memberikan suatu (developers) juga beusaha
menjelaskan ide-ide mereka mencapai suatu konsesus. Dari periode yang agak
kacau, fase yang telah dipertimbangkan menghasilkan suatu ilmuniti yang penuh
pertimbangan.
d. Fase keempat; Fase
model terakhir Walker adalah menggunakan bentuk design. Pada fase ini,
developers membuat keputusan tentang berbagai komponen proses atau elemen-elemen
kurikulum. Keputusan akan dicapai setelah ada diskusi mendalam dan
dikompromikan oleh individu-individu. Keputusan-keputusan itu kemudian deirekam
dan menjadi basis data untuk dokumen kurikulum atau materi yang lebi spesifik.
11.
Malcolm Skilbeck
Malkom Skilback, direktur Pusat
Pengembangan Kurikulum Austalia ( Australia’s Curriculum Development Center),
mengembangkan suatu interaksi altertnatif atau model dinamis bagi suatu
interaksi alternatif atau model dinamis bagi model proses kurikulum. Dalam
sebuah artikelnya, Skilbeck (1976) mengajurkan suatu pendekatan dan
mengembangkan kurikulum pada tingkat sekolah. Pendapatnya mengenai sekolah di
dasarkan pada pengembangan kurikulum (SCBD), sehingga Skilbeck memberikan suatu
model yang membuat pendidik dapat mengembangkan kurikulum secara tepat dan
realistic. Dalam hal ini, Skilbeck memepertimbangkan model dynamic in nature.
Model dinamis atau interaktif (dyanamic
or interactive models) menetapakan pengembangan kurikulum harus mendahulukan sustu
elemen kurikulum dan memualianya dengan suatu dari urutan yang telah
ditetntukan dan diajurkan oleh model rasional. Skilbeck mendukung petunjuk
tersebut, menambahkan sangat penting bagi developers untuk menyadari
sumber-sumber tujuan mereka. Untuk mengetahui sumber-sumber tersebut, Skilbeck
berpendapat bahwa “a situasional analysis” harus dilakukan. Untuk lebih mudah
memahami model yang ditawarkan Skilbeck, gamabr ini mungking bisa membantu:
Model ditas mengkalim bahwa agar
School-Based Curriculum Development (SBCD) dapat bekerja secara efektif, lima
langkah (steps) diperlukan dalam suatu proses kurikulum. Skilbeck berkata bahwa
model dapat diaplikasikan secara bersama dalam pengemban kurikulum, observasi
dan peneliaan sistem kurikulum, dan aplikasi nilai dari model tersebut pada
nilai dan model tersebut terletak pada pilihan pertama.
Mengingat susunan model ini secara
logis termasuk kategori rational by natur, namun Skilbeck mengingatkan bahwa
agar tidak terjurumus pada perangkap (trap). Skilbeck mengingatkan bahwa
pengembangan kuriulum (curriculum development) perlu mendahulukan rencana
mereka dengan memulainya dari salah satu langakah (stage) tersebut secara
bersamaan. Pengertian model di atas sangat sangat membingungkan, karena
sebenarnya model tersebutmendukung pendekang rasional daripada pengembangan
kurikulum. Namun demikian, Skilbeck berkata: The model outlined does not
presuppose a means and analysis at all, it simply encourages teams and or
groups of curriculum developers to take account different elements and aspects
of the curriculum development process, to the see the process as an organic
whole and to wrok in a moderately systematic way
Satu hal yang perlu digarisbawahi
adalah bahwa alat ini tidak mengisyaratkan suatu alat. Tujuananya adlah
menganalisis secara keseluruhan; tetapi secara simbol telah mendorong teams
atau groups dari pengembang kurikulum untuk lebih memperhatikan
perbedaan-perbedaan elemen dan aspek-aspek proses pengembangan kurikulum, agar
lebih bisa melihat proses bekerja dengan cara sistematik dan moderat.
12.
The Systematic
Action-Research Model
Model kurikulum ini didasarkan pada
asumsi bahwa perkembangan kurikulum merupakan perubahan sosial. Hal itu mencakup
suatu proses yang melbatkan kepribadian orang tua, siswa guru, strutur sistem
sekolah, pola hubungan pribadi dan kelompok dari sekolah dan maysrakat. Sesuai
dengan asumsi model tersebut model ini menekenakan pada tiaga hal itu: hubungan
insane, sekolah dan organisasi masyarakat, serta dari pengeratahuan
professional.
Kurikulum dikemabanmgkan dalam konteks
harapan warga masyarakat, para orang tua, tokoh masyarakat, pengusaha, siswa,
guru, dll, mempumyai pandangan tentang bagiamana pendidikan, bagiamana anak
belajar, dan bagiamana peranan kurikulum dalam pendidikan dan pengajaran.
Penyususnan kurikulum harus memasukan pandanagn dan harapan-harapan masyarakat,
dan salah satu cara untuk mencapai hal itu adalah dengan prosedir action
research.
Langkah pertama, mengadakan kajian
secara seksama tentang masalah kurikulum, berupa pengumpilan data yang bersifat
menyeluruh, dan mengidentifikasi faktor-faktor, kekuatan dan kondisi disusun
rencana yang menyeluruh tentang cara menagtasi maslah-maslah tersebut, seta
tindalan yang harus diambil.
Kedua,implementasi keputusan yang
dimabil dlam tindakan pertama. Tindakan ini sgera diikuti oleh kegaiatan
pengmpulan data dan fakta-fakta Kegiatan pengumpulan data ini memeliki
beberapa fungsi :
a. Memnyiapakan data
bagi evaluasi tindakan
b. Sebagai pemahaman
masalah yang dihadapi
c. Sebagai bahan
menialai dan mengadakan modifikasi
d. Sebagai bahan untuk
untuk menentukan tindkan lebih lanjut
13.
Emerging Thenical
models
Perkembangan bidang teknologi dan ilmu
pengetahuan serat nilai-nilai efesiansi dan efektifitas dalam binis, juga
mempengaruhi perkembangan model-model kurikulum. Tumbuh kecendrung-kecendrungan
baru yang didasarkan hal itu di antaranya:
The behavorial analysis models,
menekakan pengusaaan prilaku atau kemampuan. Suatu kemampuan/prilaku yang
kompleks diuraiakan menjadi prilaku-prilaku yang sedehana yang tersususn secara
hierakis. Siswa menjadi prilaku-prilakusecara berangsur-angsur mulai yang
sederhana menjadi lebih kompleks.
The system analysis model Berasal
dari gerakan efensiasi bisnis. Langakah pertama dari model ini adalah
menettukan spesifikasi perangkat hasil belajar yang harus dikusai. Langakah
kedua, menyusun instrumen untuk menilai ketercapaian hasil-hasil belajar
tersebut. Langkah ketiga mengidentifikaskan tahap-tahap kertercapaian hasil
serta perkiraan biaya yang diperlukan. Langakah keemapat membandingakan
keuntuangan dari beberapa program pendidikan.
The computer-based models, suatu model
pengembangan kurikulum dengan memenfaatkan computer. Pengembanganya di mulai
dengan mengidentifikasikan seluruh unit-unit kurikulum, tiap unit unit
kurikulum telah memilki rumusan tentang hasil-hasil bealajar yang dicapai siswa
disimpan dalam computer.
14.
The Leyton Soto Model
Dengan berkolaborasi dengan Ralph
Tyler, Mario Leton Soto merivisi dan memperluas model yang dipersentasikan oleh
Tyler. Leyton Soto mengobservasi sifat linear dari model Tyler dan pemisahan
dari tiga sumber objektif. Dia memasukan dalam representasi skematinya dalam
model Tyler pemahaman bahwa dua dasar filsafat dan psikologi tidak selalu
diterapkan dalam urutan pilihan tetapi salah satu bisa mungking bisa mendahului
yang lain. Dalam model terintergrasi Leyton Soto memhilangakan beberapa hal
yang ada dalam model Tyler dan menambahkan beberapa perbaikan dan
klirifikasinya sendiri.
Pada leyton Soto model memetakan tiga
eleman dasar: filosofi, psikologi, dan sumber dan tiga proses seleksi,
organisasi dan evaluasi. Secara signnifan Leyton soto jelas menunjukan
keterkaitan antara berbagai model komponen.
Model ini dimulai dengan dua
dasar lebih dari tiga sumber. Jelaslah bahwa sumber itu sendiri di pengaruhi
oleh filsafat dan dasar psikologi dan sebaliknya. Sefangkan Tyler sendiri
menjelaskan 1 pemilihan tujuan dan 2 pemilihan organisasi dan evaluasi
pengalaman belajar, Leyton Soto membedakan antara pengelaman belajar dan
kegiatan belajar. Dia mendefisikan tujuan sebagi kombinasi dari pengalaman yang
pelajar mencoba untuk mencapai pengalaman. Dalam model ini leyton Soto
terminology adalah prilaku yang tertulis ke dalam tujuan, sedangkan kegiatan
adalah pengelama mereka menyanggupi pelajar untuk mencapai prilaku yang
diharapkan dan kegaiatan yuang dipilih dan diatur, tapi hanya mengalami
perilaku terminal yang dievaluasi.
Dengan demikian, Leyton Soto telah
mempersentasikan sebuah intergrasi dan komperhensif, meskipun model yang
relative kompleks untuk pengembangan kurikulum dari sudut memilih tujuan ke
titik mengevaluasi pengalaman.
15.
The Saylor and
Alexander Model
Model ini membentuk curriculum planning
process (proses perencanaan kurikulum).Untuk mengerti model ini, kita harus
menganalisa konsep kurikulum dan konsep rencana kurikulum mereka. Kurikulum
menurut mereka adalah "a plan for providing sets of learning opportunities
for persons to be educated" ; sebuah rencana yang menyediakan kesempatan
belajar bagi orang yang akan dididik. Namun, rencana kurikulum tidak dapat
dimengerti sebagai sebuah dokumen tetapi lebih sebagai beberapa rencana yang
lebih kecil untuk porsi atau bagian kurikulum tertentu.
Model ini menunjukkan bahwa perencana
kurikulum mulai dengan menentukan atau menetapkan tujuan sasaran pendidikan
yang khusus dan utama yang akan mereka capai. Saylor, Alexander dan Lewis,
mengklasifikasi serangkaian tujuan ke dalam empat (4) bidang kegiatan dimana
pembelajaran terjadi, yaitu : perkembangan pribadi, kompetensi social,
ketrampilan yang berkelanjutan dan spesialisasi. Setelah tujuan dan sasarn
serta bidang kegiatan ditetapkan, perencana memulai proses merancang kurikulum.
Diputuskan kesempatan belajar yang tepat bagi masing-masing bidang kegiatan dan
bagaimana serta kapan kesempatan ini akan disediakan.
Setelah rancangan dibuat (mungkin lebih
dari satu rancangan), guru-guru yang menjadi bagian dari rencana kurikulum,
harus membuat rencana pengajaran. Mereka memilih metode bagaimana kurikulum
dapat dihubungkan dengan pelajar. Guru pada tahap ini harus dikenalkan dengan
istilah tujuan pengajaran. Sehingga guru dapat memerinci tujuan pengajaran
sebelum memilih strategi atau cara presentasi.
Akhirnya perencana kurikulum dan guru
terlibat dalam evaluasi. Mereka harus memilih teknik evaluasi yang akan
digunakan. Saylor dan Alexander mengajukan suatu rancangan yang
mengijinkan : (1) evaluasi dari seluruh program pendidikan sekolah, termasuk
tujuan, subtujuan, dan sasaran; keefektifan pengajaran akan pencapaian siswa
dalam bagian tertentu dari program, juga (2) evaluasi dari program evaluasi itu
sendiri. Proses evaluasi memungkinkan perencana kurikulum menetapkan apakah
tujuan sekolah dan tujuan pengajaran telah tercapai
16.
Model Olivia
Model perkembangan kurikulurn menurut
Oliva terdiri dari tiga kriteria, yaitu : simpel, komprehensif dan sistematis.
Walaupun model ini mewakili komponen-komponen paling penting, namun model ini
dapat diperluas menjadi model yang menyediakan detail tambahan dan menunjukkan
beberapa proses yang diasumsikan oleh model yang lebih sederhana. Model
perkembangan kurikulurn dari Oliva 12 komponen yaitu:
a. Perumusan filosofis,
sasaran, misi, serta visi lembaga pendidikan, yang kesemuanya bersumber dari
analisis kebutuhan siswa dan kebutuhan masyarakat;
b. Kebutuhan masyarakat
di mana sekolah itu berada, kebutuhan siswa dari urgensi dari disiplin ilmu
yang harus diberikan oleh sekolah;
c. Tujuan umum yang
didasarkan pada komponen 1 dan 2;
d. Tujuan khusus yang
didasarkan pada komponen 1 dan 2;
e. Bagaimana
mengorganisasi rancangan dan mengimplementasikan kurikulum
f. Menjabarkan kurikulum
dalam bentuk tujuan umum;
g. Menjabarkan kurikulum
dalam bentuk tujun khusus;
h. Menetapkan strategi
pembelajaran yang dimungkinkan dapat mencapai tujuan;
i. Teknik penilaian;
j. Pengembangan
kurikulum;
k. Evaluasi
pembelajaran;
l. Evaluasi kurikulum.
Model tersebut digambarkan dalam bentuk
segi empat dan lingkaran.Segi empat menggambarkan tentang proses perencanaan
sedangkan lingkaran menggambarkan proses operasional.Proses dimulai dengan
komponen I, karena pada fase ini para pengembang kurikulum menentukan tujuan
dari pendidikan serta landasan filosophy dan psikologi.Tujuan ini diyakini
berasal dari kebutuhan masyarakaty dan kebutuhan hidup individu
dimasyarakat.Komponen ini menggabungkan konsep yang sama dengan tyler. Komponen
II membutuhkan sebuah analisis kebutuhan masyarakat dimana suatu sekolah
berada,kebutuhan siswa dilayani oleh masyarakat.Komponen III dan IV disebut
sebagai tujuan khusus kurikulum berdasarkan tujuan, keyakinan. Tugas dari
komponen V adalah untuk mengorganisir dan mengimplementasikan kurikulum,
membentuk dan membangun struktur dengan kurikulum yang akan diorganisir.
Pada komponen VI dan VII melukiskan
perincian lebih lanjut dalam pelaksanaan lewat pengajaran yang mencakup Tujuan
Instruksional Umum dan Khusus. Komponen VIII menunjukkuan strategi agar tujuan
tercapai dikelas.Sekaligus dalam fase ini pembina kurikulum secara pendahuluan
mencari teknik evaluasi(komponen IX) yang dilanjutkan dengan komponen X dimana
pembelajaran dilaksanakan. KomponenXI adalah evaluasi sesungguhnya mengenai
prestasi siswa, keefektifan pengajaran.
Komponen XII merupakan evaluasi
kurikulum atau keseluruhan program.hal
terpenting adalah umpan balik dari setiap evaluasi untuk pengembangan lebih
lanjut.Jadi inti dari semua komponen adalah komponen I sampai IV dan VI sampai
IX adalah tahap perencanaan, sementara X-XII adalah tahap operasional. Komponen
V merupakan perpaduan antara perencanaan dan operasional.Model Oliva dapat
dipandang terdiri dari dua submodel:komponen I-V dan XII sebagai submodel
pengembangan kurikulum.Komponen VI-XI sebagai model pengembangan pengajaran. Secara
terperinci model tersebut mengikuti langkah-langkah berikut:
a. Spesifikasi
kebutuhan siswa umumnya
b. Spesifikasi
kebutuhan masyarakat
c. Pernyataan
filsafat dan tujuan pendidikan
d. Spesifikasi
kebutuahn siswa tertentu
e. Spesifikasi
kebutuhan masyarakat lingkungan sekolah
f. Spesifikasi
kebutuhan mata pelajaran
g. Spesifikasi
tujuan kurikulum sekolah
h. Spesifikasi
tujuan kurikulum sekolah lebih lanjut(lebih khusus)
i.
Organisasi dan
implementasi kurikulum
j.
Spesifikasi tujuan
instruksional umum
k. Spesifikasi
lebih lanjut dan khusus tujuan instruksional
l.
Seleksi strategi
instruksional
m. Seleksi
awal strategi evaluasi
n. Implementasi
pengajaran/instruksional
o. Seleksi
akhir strategi evaluasi
p. Evaluasi
pengajaran dan modifikasi komponen-komponennya
q. Evaluasi
kurikulum dan modifikasi komponen-komponen kurikulum
Model dapat digunakan dalam
berbagai cara:
a. Model mengusulkan
sebuah proses untuk pengembangan secara menyeluruh dari kurikulum sekolah.
b. Sebuah
Sekolah/Fakultas boleh memfokuskan pada komponen dari model (komponen 1-5 dan
12) untuk memutuskan program.
c. Sekolah/Fakultas
boleh memusatkan pada komponen pembelajaran(komponen 6-11).
Saran dari 12 langkah perkembangan
kurikulum diatas yaitu: langkah 1 – 5 dan merupakan submodel dari sebuah
kurikulum, langkah 6 – 11 sub model
pembelajaran.17
17.
Kurikulum Terpadu
(Integrated Curriculum)
Model pengembangan kurikulum terpadu
(integrated curriculum) mengikuti cara yang pada dasarnya mengandung
aspek-aspke yang sama dengan pengembangan kurikulum lainya, hanya saja setiap
kurikulum kurikulum memiliki variasi menurut hakikkat kurikulum bersangkutan.
Kurikulum terpadu pada dasarnya pemecahan pada suatu problem, yakni ‘problem
sosial’ (social problem) yang dianggap penting dan menarik bagi anak didik.
Dalam melaksanakan kurikulum terpadu,
disusunlah unit sumber (reaasch unit) yang mencakup bahan (subject matter),
kegaiatan belajar (learning activity), dan sumber-sumber (resoserces)
yang sangat luas. Sumber unit digunakan sebagai sumber untuk satuan pelajaran
(learning unit) yang dipelajari anak didik di kelas. Perbedaan individual anak
didik tidak harus selalu mempelajari yang sama, dan ada kebebasan bagi anak
untuk memilih pelajaran yang minat, bakat dan kemamampuan mereka masing-masing.
Pemahamanya bahwa unit sumber merupakan anak yang secara ideal dapat dipelajari
anak didik, sedangkan satuan pelajaran merupakan apa yang secara aktual
dipelajari anak didik.
Referensi
1. Abdulah Idi. 2007.
Pengembangan Kurikulum Teori dan Pratik. Ar RUZZ: Jogjakarta
2. Burhan Nurgiyantoro.
1988. Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum Sekolah (Sebuah Pengantar
Teoritis dan Pelaksanaan). BPFE : Jogajakarta
3. Nana Syodih
Sukmadinata. Pengembangan Kurikulum Teori Dan Pratek. Remaja Rosdakarya:
Bandung
4. Oliva, Petter F.
1982. Developing The Curriculum. Little, Brown and Company: Boston.
5. Sri Rahayu
Chandrawati. 2009. Model-Model Pengembangan Kurikulum Dan Fungsinya
Bagi Guru. http://chandrawati.wordpress.com/category/uncategorized/ di
unduh pada tanggal 09 Maret 2016
6. Recti Angralia. 2011.
Model Pengembangan Kurikulum. http://www.blogger.com/profile/02486513995147437472 di unduh pada tanggal
09 Maret 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar